Di sebuah siang, selesai shalat dzuhur penulis buka-buka Al-Qur’an. Tiba-tiba mata penulis tertuju pada sebuah ayat dalam surat Al-Anbiya (21). Ayat pertama dalam surat itu sangat menarik perhatian penulis. Berulang-ulang ayat itu penulis baca. "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (QS Al Anbiya’: 1) Bahwa semakin dekat kepada manusia, saat-saat perhitungan untuk mereka, tapi karena bodohnya, karena lalainya, mereka lalu mengabaikan semua itu. Hal ini mengandung makna perjalanan waktu terus berputar. Waktu makin dekat dan akan datang saatnya kita menghadapi perhitungan-perhitungan atas segala perbuatan di dunia, namun kita sering lalai. Karena bodohnya kita atau karena sibuknya kita. Manusia adalah mahluk serba bisa, bisa bertindak apa saja. Manusia bisa menggali gunung yang di dalamnya banyak tanah, pasir dan bebatuan, tidak hanya yang kecil bahkan yang besar-besar. Manusia mampu menyelam ke dalam lautan yang sangat dalam sekalipun. Manusia mampu menjelajah ruang angkasa. Manusia mampu menciptakan kabel yang sangat tipis namun bisa dilalui oleh informasi yang sangat banyak, dengan fiber optik manusia bisa membuat jaringan komunikasi, mendekatkan jarak yang saling berjauhan di dunia, dengan teknologi internet. Nah, segala macam kehebatan sainsdan teknologi itu memperkokoh keyakinan pada diri kita bahwa manusiadapat melakukan segala-galanya. Kemudian muncul sebuah pertanyaan dalam benak penulis,kalau memang manusia bisa mengatasi semua masalahnya, suatu saat nanti,maka keyakinan akan keberadaan Tuhan bisa saja semakin hari semakin tipis.Kemudian manusia semakin punya harapan bahwa kehidupan itu bisa lebih dinikmati dengan semakin panjang karena segala-galanya bisa diciptakan. Kesan-kesan seperti itu muncul manakala kita menyadari keberadaan yang kolektif bersama manusia lain. Ketika kita sadar, kita hidup bersama manusia lain. Saling memberi, saling memberikan manfaat, saling memberikan sumbangan-sumbangan, maka seakan-akan muncul kekuatan itu, kepercayaan diri. Tetapi seringkali kita lupa bahwa kita juga makhluk individual yang Allah mematikan manusia dengan konsep-konsep yang tidak kolektif. Setiap manusia menghadap Allah secara individu. Hubungan manusia dengan Allah bersifat individual yang tercermin pada Surat Al Baqarah ayat 286: "…Lahaa Maa Kasabat Wa ‘alayhaa mak tasabat…" artinya: …seseorang mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya… Termasuk di dalamnya peristiwa kematian. Ia bersifat individual dan tidak bisa dicegah secara kolektif. Biasanya apabila manusia menghadapi kematiannya, ia akan sangat egois. Perhatikan kisah-kisah kapal laut yang karam, pada beberapa peristiwa kecelakaan kapal laut, para penumpangnya lebih menyelamatkan dirinya sendiri, meski di sampingnya ada anggota keluarga terdekat. Seorang ayah, secara sadar atau tidak, melepas anaknya. Suami istri saling melepas pasangannya ketika diamuk gelombang dan disaat mulai tenggelam. Perhatikan juga Al Qur’an Surat ‘Abasa (80) ayat 33-37: “Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua) (33) pada hari ketika manusia lari dari saudara-saudaranya (34) dari ibu dan bapaknya (35) dari istri dan anak-anaknya (36) Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya (37)” Dengan kemajuan teknologi, manusia akhirnya berasumsi kiamat rasanya masih panjang, karena segala macam problem-problem alam, bencana-bencana alam, masih bisa diatasi oleh manusia secara kolektif. Tetapi lain halnya dengan kematian. Ia tidak bisa dihindari secara kolektif maupun individual. Ia kapan saja bisa datang, sehingga wajar orang bilang kematian adalah kiamat kecil. Jika kita renungkan, semakin hari kiamat kecil semakin dekat dengan kita. Usia kita, meski secara urut baris selalu bertambah, tetapi ternyata semakin mendekati azal, sementara kita tidak sadar apa yang sudah kita perbuat dalam hidup ini. Allah Swt berfirman dalam surat Al Hasyr (59): 18 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…" Lagi-lagi itu tadi; “Iqtaraba linnas” artinya telah semakin dekat bagi manusia saat-saat evaluasi untuk dirinya, saat-saat perhitungan untuk dirinya. Namun kebanyakan manusia terlena dalam kelalaiannya sehingga mengingkari keberadaan mati dan kiamat itu. Secara kolektif mungkin masih berpikiran kiamat ‘masih panjang’ tetapi secara individual tidak lama lagi kita akan mati. Apabila pada setiap pertambahan tahun terjadi pengurangan jatah kehidupan. Sedangkan Allah membatasi usia hingga umur 40 tahun, sekarang 39 tahun, maka sisa satu tahun lagi. Betapa singkat waktu tersisa bagi kita. Rugilah kita apabila hidup tidak diisi dengan iman dan amal shaleh. Berbicara masalah waktu ada beberapa hal yang berhubungan dengan waktu, antara lain:
Tetapi walaupun minyak habis dan tidak bisa diperbaharui, dia masih bisa tersubstitusi artinya ada alternatif pengganti. Jika minyak habis masih ada energi batu bara, energi panas bumi, energi nuklir. Sedangkan yang namanya waktu bukan saja tidak ada alternatifnya, tetapi juga tidak ada pengganti (unsubstitusi). Jadi jika waktu telah habis/berlalu maka tidak ada apa-apa lagi. Jika waktu bisa diulang (recycled) mungkin kita ingin jadi kanak-kanak lagi. Karena masa kanak-kanak itu masa-masa indah, masa-masa tanpa problema. Terkadang waktu membuat manusia lupa diri bahwa dia sesungguhnya memiliki kelemahan. Kira-kira melalui cara apa kita bisa introspeksi terhadap diri kita, karena selama ini kadang kita tidak merasa kalau kita telah berbuat suatu kedzaliman atau kesalahan kepada pihak lain, mungkin ada langkah-langkah tertentu agar kita juga mengingat kembali kalau kita salah? Masalahnya adalah apakah kita bisa melihat diri kita jika kita masih ada di dalam diri sendiri? Mari kita ambil sebuah ilustrasi. Mengapa dalam sebuah pertandingan sepakbola, di dalam stadion, penonton yang berada di tribun atas lebih pintar dari pemain yang ada di lapangan? Karena penonton yang ada di tribun atas berjarak dengan permainan, maka penonton bisa melihat seluruh permainan. Jarak pandang pemain hanyalah apa yang ada di depannya, sedangkan pendangan penonton di tribun atas lebih luas. Mereka bisa melihat kekosongan, kekurangan, kelebihan atau kesalahan pemain. Begitu juga dalam hidup, apakah kita bisa melakukan evaluasi jika kita masih terlibat dalam aktifitas kehidupan? Kita cenderung baru bisa menghargai isteri kalau sedang jauh darinya. Jika isteri tak ada terpaksa harus masak sendiri, mencuci sendiri dan lain-lain. Para istri juga baru bisa menghargai suami jika sedang jauh dari suami. Jika suami pergi keluar kota, turun hujan lalu atap rumah bocor, banyak air tergenang di dalam rumah, lalu mulai berangan-angan, ”jika saja suamiku ada…, ah kan, lumayan bisa memperbaiki atap yang bocor.” Jadi agar kita bisa mengevaluasi diri, lepaskan ego. Keluar dari kehidupan diri, keluar dari rutinitas. Untuk bisa melakukan observasi kita harus membuat jarak. |
Rabu, 24 November 2010
Umur Kita Buat Apa?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar