Rabu, 24 November 2010

Macan Suryalaya

Abu Bakar Faqih dilahirkan di kampung Sukapulang, desa Kerta Raharja, kabupaten Ciamis, Jawa Barat sekitar tahun 1880 M. Nama lahir Abu Bakar Faqih adalah Abdul Salam. Orang tuanya bernama RA Raksadinata dan Khodijah. RA. Raksadinata masih keturunan keluarga besar kerajaan Panjalu di Jawa Barat. Abdul Salam lahir dari keluarga cukup terpandang dan disegani warga sekitar. Dia mempunyai saudara kandung, yaitu Kaip, Sanuhri, dan Uha (adik perempuannya). Uha menikah dengan seorang pria, adik dari Abah Sepuh yang bernama Nur Hammad, diantara saudara-saudaranya, Abdul Salam adalah anak yang cerdas dan pintar. Di kemudian hari, Abdul Salam dikenal dengan sebutan Abu Bakar Faqih, Aki Ami, Mama Kiai Faqih atau Abah Faqih.
RA. Raksadinata yang akrab dipanggil Eyang Raksa memiliki beberapa sanak saudara dan kerabat yang tersebar dibeberapa daerah. Adalah KH. Abdullah Mubarrok (Abah Sepuh) kerabat terdekat yang pernah berminat mengasuh putranya untuk dijadikan sebagai anak angkat. Dengan senang hati, eyang Raksa menyambut baik keinginan KH. Abdullah Mubarrok. Salah satu keturunan yang diinginkan oleh kerabatnya yaitu Abdul Salam, ketika itu masih sangat belia berusia 5 tahun. Selain karena percaya kepada kerabatnya, Eyang Raksa juga teringat akan ucapan seseorang yang pernah datang untuk bersilahturahmi ke rumahnya. Orang tersebut memberitahukan sesuatu kepadanya bahwa kelak, anaknya (Abdul Salam) akan menjadi seorang pembesar atau seorang ulama yang disegani dan dibutuhkan ilmu dan doanya oleh banyak orang. Karena itu Eyang raksa dengan Ikhlas menyerahkan anak lelakinya kepada Abah Sepuh dengan iringan doa semoga nanti putranya menjadi anak yang soleh, berbakti kepada kedua orang tua, bertaqwa kepada Allah SWT, serta berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Amin.

Pendidikan

Belajar agama Islam

Untuk bekal hidupnya kelak dan juga membantu perjuangan ayah angkatnya, Faqih muda menimba berbagai ilmu agama. Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) sendiri yang menjadi guru pembimbing Abah Faqih. Ia belajar membaca dan mendalami Al Quran, belajar salat, belajar puji-pujian (solawat), juga belajar dasar-dasar ilmu keagamaan, seperti Ushuludin dan ilmu Fiqih. Ia menekuni setiap pelajaran ilmu keagamaan dengan sungguh-sungguh. Dengan kepintaran dan kecerdasan yang dimiliki, ia dapat memahami dan menguasai semua pelajaran yang disampaikan gurunya. Karena kecerdasan dan kepintarannya pula, nama kecilnya yang dahulu bernama Abdul Salam diganti menjadi Abdullah Faqih.

Mempelajari tarekat

Selain belajar berbagai dasar ilmu keagamaan, faqih juga belajar dzikir mendalami ilmu Tarekat dari ayah angkatnya sekaligus menjadi guru mursyidnya. Bahkan karena kekaguman Abah Sepuh terhadap dirinya, namanya yang dahulu bernama Abdullah Faqih diganti menjadi Abu Bakar Faqih. Hal ini disebabkan ayah angkatnya memuji sesuatu yang terhujam teguh/dzikir khofi yang kuat di dalam hati Abu Bakar Faqih.
Abu Bakar Faqih sejak muda telah dikaruniai kasyaf dan kelebihan lain berkat amalannya yang istiqamah. Berbagai ajaran yang disampaikan dari ayah angkatnya seperti dzikrullah, khotaman, dan hidmat manaqib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kelak setelah dewasa iapun pernah mendapat kesempatan dari Abah Sepuh melaksanakan latihan-latihan ruhani (Riyadhoh Khusus) seperti: mengurangi tidur, mandi dini hari (mandi kemanusiaan, Syahadat Jati dll), kemalaikatan, amalan hizib terutama doa Saefi Hijbul Yaman, puasa-puasa sunah termasuk puasa kifarat, Insan Kamil, sangga Bumi, dan sebagainya. Ia juga giat mengerjakan salat-salat sunat, berziarah ke makam para wali, berkholwat dan sebagainya. Mengenai pelaksanaan latihan ruhani (riyadhoh) bertujuan untuk melunakkan hati, sehat, tentram. Mensucikan hati sehingga dapat mendekati diri pada Sang Maha Pencipta. Banyak orang beranggapan bahwa kegiatan latihan ruhani yang ia kerjakan adalah bid’ah. Sebenarnya riyadhoh yang beliau kerjakan atas arahan dan bimbingan ayahnya dapat disejajarkan dengan olahraga.

Menjadi mursyid

Menurut KH. Aang Muhaeminul Aziz (sahabat dan wakil Abah Anom) bahwasanya “Aki Faqih merupakan pengasuh Abah Anom, terutama pengasuh dalam pengamalan tarekat”. Dan di dalam sejarah kehidupannya ia telah menorehkan tinta emas sebagai ulama spiritual diangkat Abah Sepuh sebagai salah satu guru mursyid TQN yang ikut berpartisipasi mendirikan Patapan Suryalaya tahun 1905, untuk mengamankan, melestarikan, menyebarluaskan TQN. Anugrah yang diterima oleh Abu Bakar Faqih tidaklah berbeda dengan Baba Farid al-Din Ganj-i Syakr, seorang ahli hikmah dan syaikh sufi.

Pewaris

Di tahun 1980an, karena usianya sudah lebih dari 100 tahun ditambah kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk sering berpergian, beliau menunjuk putranya yang bernama Dudung meneruskan perjuangannya menyebarkan agama Islam bernuansakan tasawuf di bawah panji pondok pesantren Suryalaya, sebagaimana perkataan dari syekh mursyid Abah Anom pada tahun 1960, beliau mengatakan bahwa:”Dudung kelak sebagai pengganti ayahnya di sini”. Ketika reputasinya berkembang di tahun 1990an, H. Dudung dan keturunannya diterpa “iklan gratis nan jitu”, gosip berupa hinaan maupun fitnahan. Siapakah sebenarnya H. Dudung? Dan mengapa dikalangan ahli dzikir sampai hati menghujat, dan memfitnahnya? Memang, suka duka yang dialami Macan Suryalaya beserta keturunannya merupakan romantika perjalanan hidup yang menarik untuk di simak, sehingga yang asalnya samar menjadi jelas, yang asalnya tidak faham menjadi faham. Jika kita mampu menyikapinya dengan mata hati, bukan nafsu dan akal saja, maka insya Allah kita bisa menemukan hikmah dan dapat mengambil manfaatnya. Dan semoga Allah swt membuka pintu hati kita untuk memahami segala kehendak dan takdir-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar