Selasa, 24 Mei 2011

Tawhid


Asal Usul Kata

Tawhid berasal dari kata wahid (satu), lalu wahhada (men-satu-kan), menjadi tawhid (pen-satu-an). Kita lebih mudah memahaminya sebagai peng-esa-an, atau pe-nunggal-an. Penyatuan adalah mengambil seluruhnya lalu dijadikan satu sekaligus. Sedangkan pensatuan memisahkan yang satu dari yang lainnya, hanya menerima atau mengakui yang satu dan menyingkirkan yang lainnya. Dalam ilmu teologi tawhid bermakna meyakini/mengakui hanya satu Tuhan, tidak mengenal Tuhan yang majemuk; baik yang berbilang menjadi dua, tiga, atau empat; maupun Tuhan yang bersekutu, misalnya tiga Tuhan menjadi satu. Tawhid adalah monoteisme murni.

Ilah (ilahun) terjemahan teknisnya berarti Tuhan, God (Inggris), Theos (Yunani). Secara semantik istilah Ilahun dalam bahasa Arab berasal dari kata Laha dan Aliha (lihat buku Al-Ishthilahat al-arba`ah fi al-Qur’an, Abul A`la al-Mawdudi).

Laha artinya mengabdi, melayani, meladeni dan memperturutkan. Ilahun adalah bentuk pasif dari Laha, artinya: yang diabdi, yang dilayani, yang diladeni, yang diperturutkan.

Aliha artinya mencintai, merindui, mengharap, mendamba, menginginkan, mendekatkan diri. Ilahun (bentuk pasif Aliha) berarti: yang dicintai, yang dirindui, yang diharap, yang didamba, yang diinginkan, yang didekati.

Laa Ilaaha adalah prinsip peniadaan atau penafian, maknanya: tiada yang diabdi, tiada yang dilayani, tiada yang diladeni, tiada yang diperturutkan, tiada yang dicintai, tiada yang dirindui, tiada yang diharap, tiada yang didamba, tiada yang diinginkan, tiada yang didekati.

Illallah adalah prinsip pengecualian sekaligus penegasan sebagai ‘hanya yang satu-satunya’ (the only). Tiada yang diabdi, dilayani, dicintai, didamba diharap, dijadikan tujuan dan tempat bergantung, kecuali Allah.

Kalimat Tawhid Membentuk Sebuah Kerpribadian.

Ketika seseorang mengucapkan kata Laa Ilaaha artinya dia membebaskan dirinya dari segala bentuk ketergantungan, dari segala bentuk pengejaran, dari segala bentuk keinginan, dari segala bentuk pengabdian dan kecintaan kepada apapun. Lalu dengan kalimat Illallaah dia menegaskan, mengokohkan dan menguatkan bahwa segala bentuk ketergantungan, pengejaran, keinginan, pengabdian, dan segala bentuk kecintaan diarahkan hanya untuk Allah semata.

Kalimat Tawhid dapat menimbulkan efek individual, yaitu membentuk sebuah kepribadian dengan jiwa yang bebas dan merdeka dari segala bentuk ketergantungan dan pengabdian kecuali kepada Allah. Dengan tertanamkan tawhid akan terjadi proses pembebasan dan pemerdekaan pada diri seseorang. Ini adalah kekuatan dahsyat. Bukan hal yang mudah membentuk jiwa bebas dan merdeka. Banyak orang yang terdidik pandai tapi tidak kreatif karena gagal membebaskan dirinya dari belenggu prasangka dan ketakutan. Banyak politisi berkuasa besar tapi gagal membebaskan dirinya dari keserakahan dan kezhaliman. Apalagi orang yang miskin dan tertindas, terbelenggu lahiriahnya, terbelenggu pula jiwanya oleh berbagai ketakutan dan angan-angan.

Selain mempunyai efek individual kalimat Tawhid juga mempunyai efek sosial, yaitu membentuk jiwa yang egaliter. Orang yang bertawhid sadar tidak akan mau merendahkan diri di hadapan orang lain, sekaligus juga tidak mau merendahkan orang lain di hadapan dirinya. Dia berusaha membebaskan dan memerdekakan orang lain dari segala bentuk peng-ilah-an kepada selain Allah. Dia tidak mau memperbudak orang lain, tidak menaklukan dan tidak pula menguasai orang lain. Sebagaimana hanya Allah yang boleh menjadi ilah bagi dirinya, maka bagi orang lain pun hanya Allah yang boleh di-ilah-kan. Orang yang bertawhid tidak berhasrat mengkondisikan orang lain untuk takluk dan memper-ilah dirinya, tidak mengizinkan dirinya disembah oleh orang lain.

Pembentukan Kalimat Tawhid dalam Diri.

Dalam kehidupan ini ada sesuatu yang bisa kita pahami dengan pendekatan akal, yaitu melalui proses fikir, rasional yang dapat dimengerti. Tapi ada juga yang tidak dapat dipahami secara rasional, yaitu melalui proses dzikir, misalnya bagaimana bisa menghayati dan membentuk sebuah refleks dalam dirinya dengan pengucapan Kalimat Tawhid itu.

Proses dzikir itulah yang akan membentuk suatu kesadaran iman berupa pengakuan akan kebesaran, kehebatan dan kesucian Allah. Kalimat Tawhid itu tidak hanya dimengerti, tapi juga harus dihayati dan dirasakan dan itu harus melalui praktek atau riyadhah yang sungguh-sungguh dan berulang-ulang.

“Dan sembahlah (beribadahlah) Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini”.
(QS. Al-Hijr, 15:99)

Dalam dunia tasawuf, ada praktek-praktek dzikir yang diajarkan melalui perkumpulan-perkumpulan tarekat sebagai bentuk riyadhah, bagaimana dapat menancapkan Kalimat Tawhid itu dalam dirinya sampai menyentuh qalbunya.

Kadang-kadang seorang murid yang mempraktekkan dzikir secara sungguh-sungguh dan intensif berada dalam konsentrasi penuh dan kesadaran yang memuncak penuh terhadap Allah ( mabuk Allah), hingga ekspresinya terlihat seperti orang yang lupa diri. Padahal dia tidak lupa diri, justru dia sadar sedang berhubungan dengan Allah dan dia merdeka dari yang selain Allah.

Ada juga yang dalam berdzikir menggerak-gerakan kepalanya. Hal itu merupakan sebuah upaya untuk menangkap makna kalimat dzikir yang diucapkan bahkan bisa juga kalimat dzikir itu membentuk gerakan-gerakan secara reflek. Karena jika seseorang semakin peka, dia dapat menangkap pesan-pesan Allah dengan baik. Sebagaimana firman Allah :

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah qalbu mereka…"
(QS. Al-Anfaal, 8:2)

Getaran qalbunya itu akan menggetarkan tubuhnya melalui gerakan-gerakan.

Pembentukan Kalimat Tawhid dalam Kehidupan Sosial.

Betapapun prinsip Tawhid itu Allah ajarkan pada kita, tetapi bukan berarti setelah ingat Allah lalu tanggung jawab terhadap lingkungan diabaikan, sebab ketika seseorang melepaskan pengabdian, penghambaan dan pengejaran terhadap lingkungan, tanggung jawab /fungsi terhadap lingkungan sosialnya harus tetap terlaksana.
Ketika dia hanya tunduk, patuh dan pasrah pada Allah saja, dia menerima konskuensi perintah dari Allah. Allah berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
(QS. Adz Dzaariyaat, 51:56)

Salah satu bentuk Ibadah manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya, yaitu membuat kemakmuran di muka bumi.
Firman Allah:

“…Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…"
(QS. Huud, 11:61)

Dalam diri seorang yang bertawhid, dia dapat memutuskan dari kecintaan dan pengejaran terhadap lingkungannya tetapi dia tidak putus dari fungsi dan tanggung jawab lingkungan sosialnya. Jika dia berhubungan dengan lingkungannya, bukan dalam rangka kecintaan pada dunia tetapi dalam rangka melaksanakan tugas yang diperintahkan Allah.

Dengan demikian bagi orang yang bertawhid, dia mampu mengembangkan dzikir dan fikirnya dalam menjalani kehidupannya di dunia sebagai konsekuensi fungsi kekhalifahannya. Dia selalu ingat Allah dalam hubungan ibadah vertikal kepada-Nya juga dalam ibadah horizontal, terhadap lingkungan sosialnya. Setiap aktifitas sebagai hasil dari dzikir dan fikirnya akan menimbulkan kesan kagum akan kesempurnaan alam dan itu akan membawanya pada kesadaran betapa sempurnanya yang menciptakan alam, yaitu Allah swt. maka dia pun berdo’a:

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka“
(QS. Ali Imran, 3:191)

By: Wahfiudin SE, MBA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar