Jihad Imam Ali as. Bersama Nabi saw.
Secara positif, landasan dakwah Nabi saw. adalah mengajak umat manusia kepada perdamaian dan membebaskan mereka dari setiap ancaman kehancuran dan kerugian perang. Ia memulai dakwah dari kota Mekah, kota sentral kekuatan Jahiliyah yang dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Dasar gerakan dan pemikiran mereka adalah kebodohan, kecongkakan, dan egoisme. Mereka adalah kaum yang keras kepala, som-bong, dan bersikeras untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Di samping itu, mereka melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada misi Nabi saw.
Kondisi itu menyebabkan mereka harus berhijrah ke Habasyah demi menyelamatkan diri mereka dari kekerasan dan tekanan kaum kafir Quraisy. Pada saat itu, Nabi saw. dilindungi oleh Singa Padang Pasir, Abu Thalib, dan putranya, Imam Ali as. Setelah Sang Singa ini kembali ke haribaan Ilahi untuk selamanya, ia tidak memiliki lagi pendukung untuk berlindung diri. Kesempatan tersebut digunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk bersekongkol membunuhnya. Mengetahui rencana dan makar jahat ini, ia segera berhijrah ke Yatsrib (Madinah).
Di Madinah, Nabi saw. memperoleh sambutan yang hangat dan perlindungan dari penduduknya. Mengetahui peristiwa ini, kaum kafir Quraisy bertambah berang dan marah seperti orang kebakaran jenggot. Mereka sepakat untuk menyulut api peperangan dengan penduduk Yat-srib dan berupaya mengerahkan seluruh sarana dan kekuatan ekonomi untuk menyerang dan melumpuhkan mereka.
Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw. untuk melindunginya dan melakukan serangan balik dalam seluruh peperangan yang disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. sebagai komandan perang yang bertugas di garis depan. Sebagian peperangan yang pernah diikuti Imam Ali as. adalah berikut ini:
1. Perang Badr
Dalam sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan muslimin. Perang ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw., menghinakan dan menaklukkan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini adalah Amirul Mukminin Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang kematian. Kepala musyrikin dan para penentang Tuhan tertebas habis oleh pedang ter-sebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan:
Tidak ada pedang selain Dzul Fiqâr
Dan tidak ada pemuda selain Ali[1]
Kami telah menjelaskan perang Badr ini dan peran positif Imam Ali as. secara rinci pada Mawsû‘ah Al-Imam Amirul Mukminin Ali as., jilid kedua.
2. Perang Uhud
Dengan duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan pasukannya dan kerugian yang berlipat ganda di pertempuran Badar. Hindun, ibu Mu‘âwiyah, termasuk salah seorang yang begitu terpukul dan sedih dengan kekalahan itu. Ia melarang orang Quraisy, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita, untuk menangisi para prajurit yang terbunuh di Badar. Kesedihan itu tidak akan pernah padam di dalam hati mereka sebelum mereka dapat melakukan pembalasan dendam.
Abu Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah yang memberikan semangat kepada masyarakat Jahiliyah Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Mereka mengum-pulkan harta benda dan dana untuk membeli peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh masyarakat demi memerangi Rasulullah saw.
Pasukan Abu Sufyân keluar menuju medan Uhud dengan semangat yang menggelora disertai oleh kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun memimpin pasukan wanita. Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:
Bangkitlah wahai putra-putra Abdi Dar.
Bangkitlah wahai para penjaga negeri tak gentar.
Pukulkan pedang kalian dengan bak halilintar.
Sementara itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan Quraisy dengan suara yang lantang:
Jika kalian maju berperang,
kami akan peluk kalian dan gelar permadani.
Jika kalian mundur,
kami akan berpisah dengan kalian sampai mati.
Pasukan kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tujuh ratus orang.
Seorang prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan dengan bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: “Hai para sahabat Muhammad, apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan mempercepat kalian menuju ke surga dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?”
Pejuang Islam, Imam Ali as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ali as. membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanan-nya. Tidak lama kemudian, darahnya tumpah dan ia binasa. Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin menjadi hina dan nyali mereka surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain. Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy seraya menebas kepala-kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum musyrikin dan mendorong mereka agar menyerang kaum muslimin. Setiap kali seorang dari mereka gugur, ia menawarkan celak sembari berseloroh: “Kamu ini hanyalah seorang wanita pengecut. Pakailah celak mata ini ini.”[2]
Sangat disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin meng-alami kekalahan yang pahit dan kerugian yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Hal itu terjadi karena kecerobohan sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bubkit demi menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka tidak bergeser sedikitpun dari tempat tersebut. Ketika per-tempuran sedang terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah mereka ke arah pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka.
Pasukan Quraisy mengalami kekalahan telak dan mereka kabur tunggang-langgang dengan meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Kaum muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan perang. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu, sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta berebut harta rampasan perang. Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, komandan pasukan kafir Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan emas. Ia segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di atas bukit itu sehingga banyak pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu, Khalid dan pasukannya menyerang para sa-habat Nabi saw. dari arah belakang dan berhasil mengacaukan dan mem-bunuh barisan Muslimin. Dalam serangan ini, prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan Muslimin.
Pembelaan Imam Ali as. Terhadap Nabi saw.
Kekalahan yang sangat menyakitkan menimpa kaum muslimin. Sebagian pasukan mereka kabur. Hal ini membuat mereka takut dan gentar meng-hadapi kaum musyrikin. Akhirnya sebagian besar mereka meninggalkan Nabi saw. yang telah dikepung oleh musuh-musuh Islam. Nabi saw. mengalami luka-luka parah dan jatuh terjerembab ke dalam lubang yang dibuat oleh Abu Amir dan sengaja ia sembunyikan agar kaum muslimin jatuh ke dalamnya. Ketika itu, Ali as. berada di samping Nabi saw. Ia segera memegang tangan beliau, sementara Thalhah bin Abdullah me-ngangkatnya sehingga ia dapat berdiri.[3] Pada saat itu, Nabi saw. Menoleh kepada Ali as. seraya bertanya: “Hai Ali, apa yang telah mereka lakukan?” Ali as. menjawab dengan hati yang tersayat: "Ya Rasulallah, mereka me-nyalahi janji dan kabur tunggang langgang.”
Sekelompok orang Quraisy berusaha melakukan serangan terhadap Nabi saw. sehingga ia terpojok. Ia berkata kepada Ali: “Halaulah mereka, hai Ali.” Ali as. menyerang mereka tanpa menunggangi kuda, dan berhasil membunuh empat orang anak Abu Sufyân bin ‘Auf dan enam orang dari kelompok penyerang tersebut. Setelah berusaha dengan susah payah, akhirnya Imam Ali as. berhasil menghalau dan mempermalukan mereka. Kemudian datang lagi kelompok yang lain untuk menyerang Nabi saw. Di antara mereka terlihat Hisyâm bin Umayyah. Ali as. pun berhasil membunuhnya, dan mereka yang masih tersisa kabur. Setelah itu, kelompok ketiga datang menyerang Rasulullah saw. Di tengah-tengah mereka terlihat Busyr bin Mâlik. Ali as. juga berhasil membunuhnya, dan sisa kelompok itu pun kabur dengan kekalahan yang memalukan.
Melihat keberanian dan ketangkasan Ali as., Jibril memohon izin kepada Allah untuk turun. Ia berkata kepada Nabi saw.: “Perlawanannya sungguh membuat kagum para malaikat.” Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Kenapa tidak, karena Ali dariku dan aku darinya.” Jibril pun bersahut: “Dan aku dari kalian berdua.”[4]
Dengan penuh keperkasaan dan ketangkasan, Ali as. senantiasa teguh membela Nabi saw. Selama pembelaan ini, ia tertebas pedang sebanyak enam belas tebasan. Setiap tebasan tersebut telah berhasil membuat Ali as. jatuh tersungkur ke atas tanah. Tetapi tak seorang pun yang membangunkannya selain Jibril.[5]
Seluruh musibah dan bencana gala yang dialami oleh pejuang Islam dan penghulu orang-orang yang bertakwa ini hanyalah demi membela Islam semata.
Dalam perang Uhud ini, pejuang Islam abadi bernama Hamzah, paman Nabi saw. meneguk cawan syahadah. Ketika mengetahui kesya-hidannya, Hindun sangat gembira dan berusaha mencari jenazahnya. Tatkala berhasil menemukan jenazahnya, bagaikan anjing hutan ia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian mengu-nyahnya dan memuntahkannya kembali. Ia juga mengiris hidung dan kedua telinga Hamzah, dan kedua anggota tubuh mulia itu ia jadikan kalung. Hal itu menggambarkan betapa kedengkian dan kebuasan Hindun yang sangat mendalam serta fanatismenya yang sangat tinggi. SuAmînya, Abu Sufyân, juga tidak mau ketinggalan. Ia bergegas menuju jenazah Hamzah dan berbicara kepadanya dengan penuh caci maki dan kedengkian seraya berkata: "Hai Abu Amârah, masa telah berganti. Kini telah tiba saatnya, dan dendam nafsuku menjadi reda.” Kemudian Abu Sufyân mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke badan Hamzah yang sudah tak bernyawa lagi itu sembari berkata: “Rasakanlah, rasakan-lah!”[6] Setelah berbuat demikian, ia berpaling dengan hati puas dan suka ria. Hatinya yang penuh dengan kemusyrikan, kedengkian, dan sifat-sifat buruk itu merasa puas dengan terbunuhnya Hamzah.
Setelah peperangan usai, Nabi saw. menghampiri jenazah pamannya, Hamzah, yang telah dirobek-robek perutnya oleh Hindun. Dengan hati yang sangat sedih dan pilu, ia memandang jasad pamannya itu seraya berkata: “Hai Hamzah, aku belum pernah ditimpa musibah seperti musi-bah yang kualami lantaran kepergianmu ini. Aku tidak pernah merasa murka sebagaimana kemurkaanku atas tragedi ini. Sekiranya Shafiyyah tidak berduka dan setelah wafatku nanti tidak dijadikan tradisi, niscaya sudah aku tinggalkan tubuhmu sehingga menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung ganas. Jika sekiranya Allah memenang-kanku atas orang-orang kafir Quraisy dalam sebuah peperangan nanti, maka aku akan mencacah-cacah tiga puluh orang dari mereka.”
Muslimin yang lain pun bangkit menuju jasad Hamzah. Mereka berkata: “Jika kami dapat mengalahkan orang-orang kafir itu pada suatu hari nanti, pasti kami akan mencacah-cacah badan mereka dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Arab pun.”
Melihat hal ini, Jibril turun menyampaikan firman Allah swt:
“Jika engkau menyiksa mereka, maka siksalah sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu. Tetapi jika kamu bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah, kesabaranmu tiada lain kecuali hanya karena Allah. Janganlah bersedih atas mereka dan janganlah merasa sempit hati terhadap tipu daya mereka.” (QS. An-Nahl [16]:129-127)
Mendengar ayat ini, Nabi saw. memaafkan para musuh dan bersabar, dan juga melarang muslimin untuk melakukan pencacahan terhadap tubuh-tubuh musuh. Ia bersabda: “Sesungguhnya mencacah tubuh itu haram sekalipun tubuh anjing galak.”
Satu-satunya peperangan yang membawa kekalahan telah bagi kaum muslimin adalah perang Uhud. Ibn Ishâq berkata: “Sesungguhnya Uhud merupakan hari duka, bencana, ujian berat. Allah menguji orang yang beriman dengannya dan menampakkan orang munafik yang melahirkan keimanan pada lisannya, sementara ia menyimpan kekufuran dalam hati-nya. Lebih dari itu, Uhud adalah hari kehormatan bagi orang-orang yang dimuliakan dengan mati syahid.”[7]
Seusai peperangan, Rasulullah saw. memberitahukan kepada Ali as. bahwa selepas peperangan Uhud ini, kaum musyrikin tidak akan dapat mengalahkan kaum muslimin hingga Allah memberikan kemenagan bagi muslimin.[8]
Demikianlah perang Uhud ini berakhir. Sebagian kisah perang Uhud ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin, jilid ke-2.
3. Perang Khandak
Nama lain perang Khandak adalah perang Ahzab. Hal itu lantaran bebe-rapa kelompok kaum musyrikin bergabung membentuk satu kekuatan tunggal untuk menyerang pasukan Rasulullah saw. Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat. Faktor utamanya adalah karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut bergabung dengan me-reka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu prajurit. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja.
Ketika melukiskan sejauh mana rasa takut yang dialami oleh kaum muslimin dalam peperangan ini, Al-Qur’an berfirman:
“Ketika mereka mendatangimu dari bagian atas dan bagian bawah kalian dan ketika mata-matamu terbelalak dan rasa takutmu sampai menembus hati.” (QS. Al-Ahzâb [33]:10)
Pada perang ini, Allah telah memberikan kemenangan bagi Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah orang yang telah berhasil menghan-curkan dan memporak-porandakan barisan kaum musyrikin.
Menggali Parit
Ketika Nabi saw. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan serangan terhadap muslimin, ia mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut. Ia juga meminta pendapat mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota Madinah. Nabi saw. Menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali parit. Ide tersebut merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat parit digali di sekitar kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan serangan terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan anak panah. Kaum muslimin pun menjawab serangan mereka dengan serangan yang sama. Saling melem-par anak panah pun terjadi antara kedua pasukan tersebut tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.
Imam Ali as. Berduel dengan ‘Amr
Orang-orang kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu tidak memberi kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar parit yang agak sempit agar kuda-kuda mereka dapat melompati dan menyeberangi parit. Di tengah-tengah mereka terlihat ‘Amr bin Abdi Wud. Dia adalah ksatria Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa Jahiliyah.
‘Amr menggenggam pedang. Ia laksana benteng kokoh. Ia menaiki kudanya dengan penuh bangga dan congkak. Dengan segenap kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar. ‘Amr maju menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan penuh penghinaan ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani melawanku?”
Hati kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk kedua kalinya ‘Amr angkat suara: “Adakah yang berani melawanku?”
Tak seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as. menjawab: “Aku yang melawannya, ya Rasulullah.”
Nabi saw. merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata: “Ketahuilah, dia adalah ‘Amr!”
Imam Ali as. menaati perintah Rasulullah saw. dan segera duduk kembali. Kembali ‘Amr mengejek kaum muslimin dan berkata: “Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang kalian duga akan memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang menginginkannya?”
Pasukan muslimin membisu seribu bahasa. Imam Ali as. tetap memaksa Nabi saw. agar memberi izin untuk melawannya. Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali as. sebagai tanda keagungan dan kehormatan. Ia saw. bersabda: “Segenap keimanan telah keluar untuk menentang sege-nap kekufuran.”
Sungguh betapa predikat kehormatan yang kekal abadi dan bersinar bak matahari. Nabi saaw. telah memberikan predikat “seluruh imam dan Islam” bagi Abul Husain dan predikat “seluruh kekufuran” bagi ‘Amr. Setelah itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada Allah swt. agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: “Ya Allah, Engkau telah mengambil Hamzah dariku di perang Uhud dan mengambil ‘Ubaidah di perang Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku sen-dirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris.”
Ali as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar sedikitpun terhadap ‘Amr bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh membaja bak ksatria yang tak ada bandi-ngannya. ‘Amr terkejut dengan pemuda yang berani maju untuk melawan dan tak gentar.
‘Amr bertanya: “Siapa kamu?”
Imam Ali menjawab dengan meremehkannya: “Aku adalah Ali bin Abi Thalib.”
‘Amr menampakkan rasa kasihan kepadanya seraya berkata: “Da-hulu, ayahmu adalah teman baikku.”
Imam Ali as. tidak bergeming sedikit pun dengan celotehan ‘Amr itu. Ia malah menjawab: “Hai ‘Amr, engkau telah berjanji kepada kaum-mu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy yang mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?”
‘Amr menjawab: “Ya, itulah janjiku.”
Ali as. berkata: “Aku mengajakmu kepada Islam.”
‘Amr tertawa seraya berkata kepada Imam Ali sembari menghina: “Jadi, aku harus meninggalkan agama nenek moyangku? Jangan usik masalah ini!”
Ali as. berkata: “Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas kembali.”
Mendengar ucapan lancang itu, ‘Amr marah dan berkata: “Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan kepengecutanku.”
Imam Ali as. melontarkan tawaran ketiga yang ‘Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Imam Ali berkata: “Kalau begitu, aku me-ngajakmu duel.”[9]
‘Amr sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan menginjak-injak kehormatannya. ‘Amr turun dari kuda-nya dan dengan cepat melayangkan pedangnya ke arah leher Imam Ali as. Imam menangkis serangannya dengan prisai. Tetapi pedang ‘Amr dapat menembus ke bagian kepala Imam Ali as. dan menciderainya. Muslimin yakin bahwa Imam Ali as. telah menjumpai ajal. Tetapi Allah swt. menolong dan menjaganya. Imam Ali as. kembali menyerang ‘Amr dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol kemusyrikan itu jatuh tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang disembelih berlumuran darah.
Imam Ali as. mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung kemusyrikan telah runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah menggapai kemenangan yang gemilang melalui kegagahan Imam Al-Muttaqîn as. Sekali lagi Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang sejarah. Ia bersabda: “Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas ‘Amr bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah lebih utama daripada amal umatku hingga Hari Kiamat.”[10]
Salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: "Seandainya keutamaan Ali as. dengan membunuh ‘Amr pada perang Khandak itu dibagi-bagikan kepada seluruh kaum muslimin, niscaya keutamaan itu akan mencukupi mereka.”[11]
Kemudian turun ayat kepada Rasulullah saw.:.”:
“...dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan (dengan memberikan kemenangan kepada mereka) ....” (QS. Al-Ahzâb [33]:25)
Tentang tafsir ayat ini Ibn Abbâs berkata: “Sesungguhnya Allah mencu-kupkan kaum mukminin dengan pertempuran Ali as.”[12]
Di samping itu, Imam Ali as. juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda: “Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak akan mampu mengalahkan kita.”[13]
Akhirnya, pasukan kafir Quraisy mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak mengalami kekalahan sedikit pun dalam peperangan ini.
<4. Penaklukan Benteng Khaibar
Setelah Allah swt. memuliakan Nabi-Nya dan menghinakan kaum kafir Quraisy, Nabi saw. menyadari bahwa program kaum Muslimin tidak akan berjalan lancar, negara Islam tidak akan damai, dan kalimat Tauhid tidak akan terangkat tinggi di muka bumi ini selama kekuatan Yahudi sebagai musuh besar Islam dari sejak dulu hingga saat itu masih bercokol. Pusat kekuatan dan eksistensi mereka berbasis di benteng Khaibar. Benteng ini juga berfungsi sebagai pusat produksi senjata modern pada masa itu. Di antaranya, manjanik yang mampu menembakkan peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu setiap golongan yang ingin memerangi Islam dengan memasok berbagai senjata mulai dari pedang, panah, hingga prisai.
Nabi saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng Khaibar. Ia menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba di benteng Khaibar dengan pasu-kannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan manjanik sehingga Abu Bakar dipukul mundur dan kembali dengan ketakutan dan gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan kepada Umar bin Khattab. Ternyata Umar pun tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali dengan membawa kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup rapat, tak seorang pun akan berhasil menguasai benteng tersebut.
Setelah muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang komandan perang yang dengan tangannya Allah swt. akan memberikan kemenangan. beliau bersabda: “Besok, aku akan memberikan bendera komando perang kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya. Pun sebaliknya, Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Dia tidak akan mundur sampai Allah memberikan kemenangan kepadanya.”[14]
Mendengar maklumat tersebut, Muslimin tidak sabar lagi ingin segera tahu siapakah komandan pasukan yang kepadanya Allah akan menganugerahkan kemenangan itu. Mereka tidak menduga bahwa dia adalah Ali bin Abi Thalib as., karena pada saat itu Ali as. sedang men-derita sakit mata.
Ketika sinar matahari pagi mulai menyingsing, Nabi saw. memanggil Ali as. sementara kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan Nabi saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi saw. memoleskan ludahnya di kedua matanya. Seketika itu juga mata Ali as. sembuh. Rasulullah saw. berkata: “Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan kemenangan kepadamu!”
Pejuang Islam itu menerima bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan gagah perkasa. Imam Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apakah aku perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?”
Nabi saw. menjawab: “Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”[15]
Sang panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak sebersit pun rasa takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat bendera komando itu tinggi-tinggi menuju ben-teng Khaibar. Ia berhasil mencabut pintu benteng Khaibar dan meng-gunakannya sebagai perisai untuk menangkal serangan kaum Yahudi.[16]Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi.
Gerangan ksatria manakah ini?! Ia mampu membongkar pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai perisai! Padahal pintu itu tidak dapat dibongkar oleh kurang dari empat puluh orang kuat.[17] Bagaimana mungkin pintu itu dapat dicopot oleh satu orang saja! Sungguh hal itu merupakan keajaiban yang sangat menakjubkan.
Imam Ali as. Menaklukkan Marhab
Marhab adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as. untuk bertanding. Marhab maju dengan mengenakan penu-tup wajah sebagai pelindung buatan Yaman dan batu berlobang yang ia letakkan di kepalanya seraya bersyair:
Khaibar tahu akulah Marhab.
Penghunus pedang pahlawan tangguh.
Bagai singa kekar menyerang musuh.
Segera Imam Ali as. menyambut. Ia kenakan jubah berwarna merah. Se-bagai balasan atas syair Marhab, ia bersyair:
Akulah yang dinamai oleh ibuku Haidar.
Sang pemberani dan singa tak gentar.
Singa penerkam musuh bak halilintar.
Kedua lenganku terbuka lebar kekar.
Kekar dan tangguh bak singa hutan keluar.
‘Kan kutebas setiap batang leher pengingkar.
‘Kan kuperangi mereka untuk yang benar.
‘Kan kuperangi mereka dengan pedangku yang tegar.
Tak seorang perawi pun yang berbeda pendapat bahwa syair tersebut adalah syair Imam Ali as.[18] Dalam bait-bait syairnya itu, Imam Ali as. menjelaskan kegagahan, kekuatan, ketangkasan, keberanian, dan ketega-rannya dalam menghadapi orang-orng kafir dan para pembangkang.
Imam Ali as. maju mengarah Marhab dengan keberanian yang luar biasa. Begitu cepatnya menyayunkan pedangnya ke atas kepala Marhab hingga menembus penutup kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas tanah dengan darah yang bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu, Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam. Benteng Khaibar telah ditaklukkan dan Allah telah menghinakan kaum Yahudi. Pepera-ngan berakhir. Di sanalah Imam Ali as. memberikan pelajaran keberanian yang senantiasa dikenang di sepanjang sejarah.[19]
5. Penaklukan Kota Mekah
Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang nyata atas hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw., dan menghinakan kekuatan syirik dan tiran. Kekuatan musuh-musuh Islam telah menderita kegagalan dan kerugian yang besar. Sementara kekuasaan Islam terbentang di semanjung jazirah Arabia dan bendera Tauhid berkibar megah.
Rasulullah saw. melihat bahwa kemenangan gemilang Islam tidak akan terealisasi sepenuhnya kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai basis utama kemusyrikan dan kekufuran kala itu dan senantiasa memeranginya selama masih berada di sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan kini telah memiliki kekuatan. Ia bergerak kembali menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih dan bersenjata lengkap sebanyak sepuluh ribu atau lebih prajurit. Tetapi, ia menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya, karena khawatir akan diketahui oleh orang kafir Quraisy sehingga mereka akan mengadakan perlawanan dan terjadi pertumpahan darah di tanah Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin secara tiba-tiba dapat mengejutkan warga Mekah.
Pasukan muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun hingga mereka memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw. segera memerintahkan para sahabat agar mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu bakar telah terkumpul meng-gunung.
Pada malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu bakar-kayu bakar itu, sehingga kobaran-kobaran api terlihat dari kota Mekah. Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas keselamatan jiwanya. Ia berkata kepada Badîl bin Warqâ’ yang tengah berada di sampingnya: “Aku belum pernah meli-hat nyala api seterang malam ini.” Badîl segera menimpali: "Demi Allah, ini adalah kobaran api peperangan.”
Abu Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: “Kobaran api peperangan! Nyala api dan bala tentaranya tidak mungkin sesedikit ini.”
Rasa takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui kedatangan pasukan Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu Sufyân: “Hai Abu Hanzhalah!”
Abu sufyân yang mengenalnya segera berkata: “Apakah engkau Abul Fadhl?”
“Ya”, jawab Abbâs pendek.
“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu”, tegas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok pagi dia akan menaklukkan Quraisy.”
Darah Abu Sufyân seketika itu juga membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan nada gemetar: “Apa yang harus kita lakukan?”
Abbâs segera memberikan solusi sehingga darahnya terjaga. Ia ber-kata: “Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai tua ini. Aku akan mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungannya untukmu.”
Abbâs membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa tidur semalam suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia lakukan atas kaum muslimin. Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu akui bahwa tidak ada tuhan selain Allah?”
Nabi saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Abu Sufyân terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai dari kejadian-kejadian tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang tidak menaruh dendam terhadap kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw. untuk memohon maaf seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf, berkepribadian mulia, dan penyambung persaudaraan! Demi Allah, sungguh aku mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain Allah, pasti ia tidak akan membu-tuhkanku.”
Nabi saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku adalah utusan Allah?”
Ketika itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusy-rikan dan kekufuran yang sudah terhujam dalam relung hatinya. Kepada Nabi saw. dia berkata: “Demi ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau dan betapa mulia dan penyambung persaudaraanmu! Adapun untuk seru-anmu ini, hingga saat ini di dalam hatiku masih terdapat sesuatu.”
Abbâs yang mendengar jawaban Abu Sufyân itu segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak bersaksi atas kenabian dan tidak masuk Islam. Abbâs berkata: “Celakalah engkau! Masuklah Islam! Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah sebelum lehermu ditebas!
Lelaki kotor dan keji itu tidak punya jalan lain. Ia terpaksa masuk Islam dengan lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap terpendam di dalam relung hatinya.
Nabi saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah yang sempit sehingga prajurit Islam melewati-nya dan ia menyaksikan mereka. Hal itu agar Quraisy merasa takut untuk mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan perintah Nabi saw. Para prajurit Islam melaluinya dengan membawa aneka ragam senjata.
Abu Sufyân bertanya kepada Abbâs: “Siapakah ini?”
“Sulaim”, jawab Abbâs pendek.
“Aku tidak ada urusan dengan Sulaim”, tukas Abu Sufyân.
Tidak lama kemudian sekelompok pasukan berkuda lainnya lewat. Abu Sufyân bertanya lagi: “Siapakah ini?”
“Mazînah”, jawab Abbâs singkat.
“Aku tidak punya urusan dengan Mazînah”, tukas Abu Sufyân.
Kemudian Nabi saw. lewat dengan membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang terhunus. Ia dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa gentar. Ia bertanya: “Siapakan pasukan berkuda itu?”
“Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar”, jawab Abbâs pendek.
“Sungguh kerajaan kemenakanmu telah hebat”, tukas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Hai Abu Sufyân, itulah kenabian.”
Abu Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: “Baiklah kalau begitu!”
Lelaki Jahiliyah ini tidak beriman kepada Islam. Ia hanya mengerti soal kerajaan dan kekuasaan. Setelah itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak dengan keras: “Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak mungkin dapat melawannya. Barang siapa yang mema-suki rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman.”
Orang-orang Quraisy berkata kepada Abbâs: “Rumahmu tidak da-pat menjamin keamanan kami?”
“Barang siapa yang menutup pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid, maka ia akan aman”, teriak Abbâs lagi.
Hati kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan masjid. Sementara itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk membangkitkan amarah kaum Quraisy terhadap Abu Sufyân: "Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya tidak sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum.”
Abu Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk menyerah. Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt. telah menghinakan Quraisy dan membahagiakan Muslimin yang tertindas selama ini. Nabi saw. segera menuju ke Ka‘bah untuk menghancurkan patung-patung sesembahan orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian mata Hubal sambil berkata: “Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna.”
Kemudian Nabi saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundak-nya untuk menghancurkan patung-patung dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as. mengangkat patung-patung itu dan melem-parkannya ke atas tanah hingga hancur. Patung-patung itu hancur di tangan pahlawan Islam, sebagaimana patung-patung pernah dihancurkan oleh kakeknya, Ibrahim Khalîlullâh.
Haji Wadâ‘
Nabi saw. merasa bahwa ia tidak lama lagi akan menghadap Haribaan Suci Ilahi. Karena itu, ia merasa perlu untuk melakukan haji ke Baitullah untuk menetapkan jalan-jalan keselamatan untuk umat manusia.
Pada tahun ke-10 Hijriah, Nabi saw. berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada segenap penduduk ia mengumumkan bahwa tidak lama laginya akan berangkat menuju ke alam akhirat dan meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Ia bersabda: “Aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tidak dapat berjumpa lagi dengan kalian untuk selamanya dalam kondisi seperti ini.”
Mendengar berita itu, jamaah haji khawatir dan gelisah. Mereka melakukan tawaf dengan perasaan sedih sembari bergumam: “Nabi saw. telah memberitahukan kematian dirinya.”
Nabi saw. menetapkan jalan-jalan keselamatan yang dapat menjaga umat dari segala fitnah dan menjamin kehidupan mereka yang mulia. Ia saw. bersabda: “Hai manusia, aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang sangat berharga, yaitu kitab Allah dan ‘Itrahku, keluargaku.”
Ya, berpegang teguh kepada kitab Allah, mengamalkan isinya, dan ber-wilâyah kepada Ahlul Bait as. adalah sebuah jaminan bagi umat dari penyimpangan dalam kehidupan dunia ini. Setelah selesai melakukan ibadah haji, Rasulullah saw. menyampaikan sebuah ceramah yang sangat indah. Dalam ceramah ini, Nabi saw. telah menjelaskan poin-poin yang sangat penting dan ajaran-ajaran Islam yang gamblang. Ia mengakhiri ceramah itu dengan pesan: “Sepeninggalku nanti, jangan sampai kalian kembali kepada kekufuran dan kesesatan sehingga segolongan dari kalian membunuh golongan yang lain. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua pusaka, kalian pasti tidak akan tersesat untuk selamanya bila berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah dan ‘Itrahku, keluar-gaku. Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?”
“Ya”, jawab mereka serentak.
Kemudian Nabi saw. bersabda lagi: “Ya Allah, saksikanlah! Sesung-guhnya kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya kalian yang hadir di sini menyampaikan kepada yang tidak hadir.”[20]
Kami telah memaparkan teks ceramahnya saw. ini dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2.
Muktamar Ghadir Khum
Seusai menunaikan ibadah haji, Nabi saw. kembali ke kota Madinah bersama jamaah haji. Ketika ia sampai di Ghadir Khum, malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa perintah yang maha penting dari Allah swt.; yaitu agar Nabi saw. menghentikan rombongan di tempat tersebut guna mengangkat Ali as. sebagai khalifah dan imam atas umat setelah wafatnya. Di dalamnya juga ditekankan bahwa ia tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan perintah itu. Ketika itu turun ayat:
“Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka berarti engkau belum menyapaikan semua risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Mâ’idah [5]:67).
Nabi saw. menerima perintah tersebut dengan penuh perhatian. Dengan tekad yang kuat membaja dan kehendak yang bulat, ia menghentikan perjalanan di tengah-tengah terik matahari padang pasir. Ia memerin-tahkan agar kafilah jamaah haji berhenti untuk mendengarkan ceramah yang akannya sampaikan kepada mereka. Nabi saw. mengerjakan salat. Setelah usai salat, ia memerintahkan supaya pelana-pelana unta disusun menjadi mimbar. Setelah itu, ia menyampaikan ceramah dengan penuh semangat. Ia menyampaikan berbagai kesulitan dan rintangan yang menyilang jalan dakwah Islam, belum lagi pada saat itu umat manusia berada dalam kesesatan. Kemudian ia menyelamatkan mereka. Ia telah menanamkan pondasi peradaban (Islam) dan kemajuan umat manusia. Kemudian ia menoleh kepada mereka seraya berkata: “Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan dua pusaka berharga ini.”
Ketika itu sebagian orang bertanya: “Apakah dua pusaka itu, ya Rasulullah?”
Nabi saw. menjawab: “Pusaka yang lebih besar adalah kitab Allah; satu bagian jungnya berada di tangan Allah dan satu ujungnya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kepadanya dan jangan-lah kalian tersesat. Pusaka lainnya adalah lebih kecil, yaitu keluargaku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Mengetahui memberitahu-ku bahwa kedua pusaka itu tidak akan berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Kemudian aku mohon hal itu kepada Tuhanku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya, karena kalian pasti akan binasa, janganlah kalian lalai dari keduanya, niscaya kalian akan hancur ….”
Kemudian Nabi saw. mengangkat tangan washî dan pintu kota ilmunya, Ali as., dan mewajibkan muslimin untuk ber-wilâyah kepadanya. Ia telah menobatkan dia sebagai pemimpin umat untuk menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.
Beliau saw. bersabda: “Hai manusia, siapakah yang lebih utama terhadap orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?”
Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah pemimpinku dan aku adalah pemimpin kaum mukminin. Maka, aku lebih utama atas mere-ka daripada diri mereka sendiri. Barang siapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah pemimpinnya.” Ia mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.
Setelah itu Nabi saw. melanjutkan: “Ya Allah, bimbinglah orang yang ber-wilâyah kepada Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan murkailah orang yang memur-kainya. Tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya. Sertakanlah hak bersamanya di mana saja dia berada. Hendaknya yang hadir menyampaikan hal ini kepada yang gaib ....”
Dengan ucapan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakhiri pidato-nya, sebuah pidato yang menentukan Ali as. sebagai rujukan seluruh umat manusia sepeninggalnya. Ia telah menentukan seorang pemimpin yang mengatur seluruh urusan kamu muslimin setelahnya.
Kaum muslimin menyambut hal itu dengan membaiat Imam Ali as. dan menyampaikan ucapan selamat atas jabatannya sebagai pemimpin muslimin. Nabi saw. memerintahkan para Ummul Mukminin agar mem-baiatnya.[21]Umar bin Khaththab pun maju menghadap Ali as. untuk mengucapkan selamat dan menyalaminya. Ketika itu Umar mengucap-kan sambutannya yang masyhur: “Selamat, hai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin laki-laki dan perempuan.”[22]
Hassân bin Tsâbit pun bangkit untuk membacakan bait-bait syair-nya:
Nabi memanggil mereka pada hari Ghadir Khum, dengarkanlah Rasul memanggil.
Dia berkata: “Siapaklah maula dan nabi kalian?” Mereka menjawab dan tidak seorang pun buta: “Tuhanmu adalah maula kami, dan engkau adalah nabi kami. Tak seorang pun di antara kami yang menentang.”
Dia bekata: “Bangkitlah, hai Ali. Aku rela engkau sebagai imam dan penunjuk jalan setelahku.
Barang siapa aku adalah walinya, maka Ali adalah walinya. Hendaklah kalian menjadi pengikutnya yang setia.”
Dia berdoa: "Ya Allah, cintailah orang yang membantunya dan musuhilah orang yang mendengkinya.”[23]
Sesungguhnya membaiat Imam Ali as. pada peristiwa Ghadir Khum adalah bagian dari misi Islam. Barang siapa yang mengingkarinya berarti ia telah mengingkari Islam, seperti ditegaskan Allamah Al-‘Alâ’ilî.
Duka Abadi
Setelah Nabi saw. menyampaikan risalah Tuhan dan menjadikan Ali as. sebagai pemimpin umat, kesehatannya mulai menurun hari demi hari. Ia terjangkit penyakit demam berat seperti panas yang membakar. Ia mengenakan sehelai selimut. Jika istri-istrinya dan para penjenguk mele-takkan tangan mereka di atas selimut tersebut, mereka pasti merasakan panasnya.[24]
Kaum muslimin berbondong-bondong menjenguknya. Ia memberi-tahukan kepada mereka tentang ajalnya dan menyampaikan wasiatnya yang abadi. Ia berkata: “Hai manusia, sebentar lagi nyawaku segera akan diambil, lalu aku akan dibawa. Aku sampaikan kepada kalian sebuah amanat demi menyempurnakan hujah bagi kalian. Aku tinggalkan untuk kalian kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.”
Ajal begitu cepat mendekat kepadanya. Pada waktu itu, ia membaca ada gelagat-gelagat fanatisme golongan di dalam diri para sahabat untuk berusaha keras mengalihkan kekhalifahan dari Ahlul Bait as. Ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat adalah mengosongkan kota Madinah dari mereka dengan cara mengutus mereka untuk memerangi Romawi. Ia menyiapkkan satu pasukan perang di bawah komando Usâmah bin Zaid yang masih berusia muda. Ia tidak menyerahkan pimpinan pasukan kepada sahabat yang sudah berumur. Bahkan ia malah memerintahkan mereka menjadi prajurit Usâmah. Namun, mereka keberatan untuk ber-gabung dalam pasukan perang Usâmah itu.
Mengetahui hal itu, Nabi saw. segera naik mimbar dan menyampai-kan pidato. Ia berkata: “Laksanakanlah perintah Usâmah! Semoga Allah melaknat orang-orang yang membelot dari pasukan Usâmah.”
Perintahnya yang tegas ini tidak menyenangkan hati mereka. Mereka malah memasukkan ucapannya itu ke telinga kanan dan membuangnya dari telinga kiri. Mereka tidak menaati perintahnya. Ada beberapa poin penting lain dari bagian sejarah Islam ini, dan kami telah memaparkannya dalam kitab Hayâh Al-Imam Hasan as.
Sebelum meninggal dunia, Nabi saw. melihat pentingnya memperkokoh baiat kepada washî dan pintu kota ilmunya yang telah terlaksana di Ghadir Khum untuk menutup peluang bagi para pengkhianat. Ia meminta: “Ambilkan secarik kertas dan pena untukku! Aku akan menulis untuk kalian sebuah wasiat agar kalian tidak tersesat untuk selamanya.”
Betapa besar nikmat tersebut bagi kaum muslimin. Karena, hal itu adalah sebuah jaminan dari penghulu alam, Nabi saw. bahwa umat manusia tidak akan tersesat sepeninggalannya. Mereka senantiasa dapat berjalan di atas jalan lurus yang bersih dari penyimpangan. Wasiat apakah yang dapat menjamin petunjuk dan kebaikan bagi umat Islam itu? Wasiat itu tidak lain adalah kepemimpinan Ali as. atas umat manusia sepening-galnya.
Sebagian sahabat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. ber-maksud menulis wasiat mengenai kekhalifahan Ali as. sepeninggalnya. Oleh karena itu, mereka menolak permintaannya itu sembari berteriak: “Cukup bagi kita kitab Allah!”
Setiap orang yang merenungkan penolakan tersebut pasti menge-tahui apa maksud ucapan itu. Sahabat yang menolak itu merasa yakin bahwa dengan wasiat tersebut, Nabi saw. akan mengangkat Imam Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Seandainya sahabat itu tahu bahwa ia hanya ingin berwasiat supaya perbatasan-perbatasan wilayah negara Islam dijaga atau ajaran-ajaran agama Islam diperhatikan, pasti ia tidak akan menolak permintaannya seberani itu.
Yang jelas, ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang yang hadir di rumah Nabi saw. Sekelompok dari mereka berusaha agar per-mintaannya itu segera dilaksanakan. Sementara sekelompok yang lain berusaha menghalanginya menulis wasiat tersebut. Beberapa Ummul Mukminin dan para wanita yang lain melawan sikap para penentang yang telah berani menghalang-halangi Nabi saw. di saat-saat terakhir hayatnya. Mereka berkata dengan nada protes: “Tidakkah kalian mendengar ucapan Rasulullah? Tidakkah kalian ingin melaksanakan keinginannya?”
Khalifah Umar, tokoh penentangan itu, bangkit dan berteriak kepa-da para wanita itu. Ia berkata: “Sungguh kalian adalah wanita-wanita Yusuf. Apabila ia sakit, kalian hanya bisa menangis. Dan Jika ia sehat, kalian senantiasa membebaninya.”
Mendengar teriakan itu, Nabi saw. berkata seraya membidikkan pandangan matanya yang tajam ke arah Umar: “Biarkan para wanita itu. Sungguh mereka lebih baik dari kalian semua!”
Pertikaian di antara orang-orang yang hadir pun bertambah sengit. Hampir saja kelompok yang mendukung Nabi saw. untuk menulis wasiat itu memenangkan pertikaian. Tetapi seorang penentang segera bangkit dan membidikkan panahnya untuk menghancurkan taktiknya. Orang itu berkata: “Sesungguhnya ia (Nabi saw.) sedang mengigau.”[25]
Betapa lancangnya orang itu berkata demikian kepada Rasulullah saw. dan sungguh berani dia menentang poros kenabian. Dia berani mengatakan bahwa Nabi saw. sedang mengigau, padahal Allah berfir-man:
“Sahabat kalian itu tidak tersesat dan juga tidak menyimpang. Dia tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar wahyu yang diturunkan kepadanya. Dia dididik oleh Dzat Yang Maha Perkasa.” (QS. An-Najm [53]:2-5)
Nabi Muhammad saw. mengigau?! Padahal Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya itu adalah ucapan seorang rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan di sisi ‘Arsy yang tersembunyi.” (QS. At-Takwîr [81]:19-20)
Kita harus melihat peristiwa tersebut secara obyektif dan dengan kesadaran yang bukan penuh, bukan dengan perasaan dan emosi. Karena hal itu berkaitan erat dengan realitas agama kita dan dapat mengungkap bagi kita suatu realitas yang menunjukkan tipu daya musuh terhadap Islam.
Ala kulli hal, tatkala Ibn Abbâs, panutan umat yang alim itu, menyebutkan peristiwa yang mengenaskan itu, hatinya pilu bak tersayat sembilu dan melinangkan air mata bagaikan butiran-butiran permata. Dia berkata: “Hari Kamis! Oh betapa memilukan tragedi hari Kamis. Pada hari Kamis itu Rasulullah saw. bersabda: ‘Ambilkan kertas dan pena untukku. Aku ingin menulis sebuah wasiat untuk kalian, agar kalian tidak tersesat selama-lamanya.’ Akan tetapi mereka berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.’”[26]
Satu-satunya kemungkinan yang bisa kita bawakan berkenaan dengan masalah ini adalah sekiranya Rasulullah saw. sempat menulis wasiat berkenaan dengan hak kepemimpinan Imam Ali as., wasiat itu tidak akan bermanfaat sama sekali. Mereka akan menuduhnya sedang mengigau dan tidak sadarkan diri. Padahal tuduhan semacam ini adalah sebuah tikaman yang sangat telak terhadap kesucian kenabian.
Nabi saw. ke Haribaan Ilahi
Kini tiba saatnya manifestasi kelembutan Ilahi itu harus berangkat ke Langit yang tinggi. Kini tiba saatnya cahaya yang menerangi alam semesta ini harus pindah ke Haribaan Suci Ilahi. Malaikat maut telah mendekat menghampiri Nabi saw. untuk menerima roh yang agung itu. Pada saat itu, ia menoleh ke washî dan pintu kota ilmunya. Ia saw. bersabda: “Letakkanlah kepalaku di atas pangkuanmu. Utusan Allah telah tiba. Apabila rohku telah keluar, maka raihlah roh itu dan usaplah wajahmu dengannya. Kemudian hadapkanlah aku ke arah kiblat, uruslah jena-zahku, dan salatilah aku. Engkaulah orang pertama yang menyalatiku. Janganlah engkau tinggalkan aku hingga engkau kuburkan aku di dalam tanah, dan mintalah bantuan kepada Allah swt.!”
Imam Ali as. segera meraih kepala Nabi saw. dan meletakkan kepala suci itu di atas pangkuannya, lalu meletakkan tangan kanannya di bawah dagunya. Tidak lama kemudian, roh Nabi saw. yang agung itu berangkat. Imam Ali pun mengusap wajahnya dengan rohnya itu.[27]
Bumi bergoncang dan cahaya keadilan pun lenyap. Oh, betapa hari-hari yang panjang ini penuh dengan kesedihan, hari yang gelap gulita tidak ada tandingannya. Telah sirna mimpi-mimpi kaum muslimin. Kaum wanita Madinah pun keluar sambil menampar-nampar pipi mereka. Suara duka dan kesedihan mereka terdengar nyaring. Para Ummul Mukminin menghempaskan jilbab-jilbab dari atas kepala sembari memukul-mukul dada. Sementara tenggorokan kaum wanita Anshar parau karena ber-teriak histeris.[28]
Di antara keluarga Nabi saw. yang paling terpukul dan sedih adalah buah hati dan putri semata wayangnya, Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ as. Ia merebahkan diri ke atas jenazah ayahanda tercinta sembari berkata dengan suara yang pilu: “Oh, ayahku! Oh, nabi rahmatku! Kini wahyu tak ‘kan datang lagi. Kini terputuslah hubungan kami dengan Jibril. Ya Allah, susulkanlah rohku dengan rohnya. Berikanlah aku syafaat untuk dapat melihat wajahnya. Janganlah Engkau halangi aku untuk memperoleh pahala dan syafaatnya pada Hari Kiamat kelak.”[29]
Az-Zahrâ’ as. berjalan mondar-mandir di seputar jenazah ayahanda-nya yang agung itu dengan duka yang mendalam. Peristiwa itu telah membungkam lidahnya. Ia hanya dapat berkata: “Oh, ayahku! Kepada Jibril kusampaikan bela sungkawa ini. Oh, ayahku! Surga Firdaus tempat ia berteduh. Oh, ayahku! Ia telah memenuhi panggilan Tuhan yang telah memanggilnya.”
Wafatnya ayahanda tercinta telah membuat Fatimah Az-Zahrâ’ bisu bagaikan mayat yang tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya dia, sang buah hati Nabi saw. itu.
Imam Ali as. menangani proses pemakaman jenazah saudara dan putra pamannya itu sambil mencucurkan air mata yang deras. Ali as. meman-dikan jasad yang suci itu sambil berkata dengan suara yang lirih: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, dengan kepergianmu ini telah terputus kenabian dan berita langit yang tidak pernah terputus dengan kematian orang lain selainmu. Engkau dikhususkan (dengan kenabian) sehingga engkau senantiasa menjadi pelipur lara bagi orang lain, dan misimu universal sehingga seluruh manusia sama di hadapanmu. Sekiranya eng-kau tidak menyuruhku untuk bersabar dan tidak melarangku untuk berkeluh-kesah, niscaya telah kutumpahkan seluruh kesedihanku, per-soalan pun berkepanjangan, dan kesedihan pun berkelanjutan.”[30]
Seusai memandikan jasad Nabi saw., Ali as. mengkafaninya dan meletakkan jazad mulia itu di atas keranda untuk dimakamkan.
Menyalati Jenazah Nabi saw.
Orang pertama yang menyalati jenazah Nabi saw. yang suci adalah Allah swt. di atas ‘Arsy-Nya, kemudian Jibril as., kemudian Israfil as., kemudian para malaikat serombongan demi serombongan.[31] Setelah itu, kaum muslimin berbondong-bondong menyalati jenazah nabi mereka. Imam Ali as. berkata: “Tak seorang pun yang menjadi imam dalam salat ini. Ia adalah imam kalian, baik ketika hidup maupun setelah wafat.”
Mereka masuk ke dalam ruangan sekelompok demi sekelompok dan menyalati jenazahnya dengan berbaris tanpa imam. Salat tersebut dilakukan secara khusus. Imam Ali as. membacakan bacaan-bacaan salat, sementara mereka mengikuti bacaan terebut. Bacaan itu demikian berbunyi:
ٱلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ نَصَحَ لِأُمَّتِهِ، وَ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتىَّ أَعَزَّ اللهُ دِيْنَهُ وَ تَمَّتْ كَلِمَتُهُ، اللَّهُمَّ فَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ ثَبِّتْنَا بَعْدَهُ وَ اجْمَعْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُ
Salam sejahtera, juga rahmat, dan seluruh berkah Allah untukmu, wahai nabi Allah. Ya Allah, kami bersaksi bahwa ia telah menyam-paikan apa yang telah diturunkan kepadanya, telah menasihati umat-nya, dan telah berjuang di jalan Allah sehingga Allah memuliakan agama-Nya dan menyempurnakan kalimat-Nya. Ya Allah, jadikan-lah kami orang-orang yang mengikuti apa yang telah diturunkan kepadanya. Teguhkanlah kami sepeninggalnya dan himpunlah kami dengannya.
Sementara, seluruh masyarakat yang menyalatinya itu mengucapkan: “Amîn.”[32] Kaum muslimin berjalan melalui jenazah nabi yang agung itu sembari menatapnya dengan kesedihan dan rasa duka yang sangat dalam. Mereka kini telah kehilangan penyelamat dan pembimbing. Pembangun negara dan peradaban yang tinggi itu telah wafat meninggalkan mereka.
Menguburkan Jenazah Nabi saw.
Setelah kaum muslimin menyalati jenazah Nabi saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah sau-daranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesung-guhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudah-mu terdapat peristiwa besar.”[33]
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil meng-ubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.
Muktamar Tsaqîfah
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekha-lifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar telah berperan sebagai tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Nabi saw. dan mereka pernah mene-barkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”[34]
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha merendahkan dan menghinakan para khalifah itu. Mu‘âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu‘âwiyah memerintah, dia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar men-calonkan Sa‘d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa‘d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa‘d, Khazraj. Sudah sejak lama memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa‘d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif di ajang perebutan kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Nabi saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Nabi saw. Kedudukan Ali as. di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam telah tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Ia pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memak-sanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Dia menakut-nakuti, mengancam, dan meng-gertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Nabi saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”[35]
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap orang muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Fatimah Az-Zahrâ’ as., buah hati Nabi saw. Padahal Allah ridha karena keridhaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Dengan pedang terhunus para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekuatan mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas perkara ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, sebaliknya kalianlah yang semestinya membaiatku. Kalian telah merampas hak ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian juga telah merampas kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kalian telah mendakwa di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih berhak atas kekhilafahan ini daripada mereka dengan dalih Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Nabi saw., baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman! Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu menyadarinya.”
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih kuat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan sepupu-sepupu atau pamannya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjalin dalam bentuk yang paling sempurna. Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. dan berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak mem-baiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar sengit.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membe-lanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasu-lullah.”
Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Nabi saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya dia menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fatimah berada di sisinya.”
Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari menuju ke makam saudaranya, Nabi saw., untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”[36]
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar, telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ....” (QS. Âli ‘Imrân [3]:144)
Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as.
Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka
Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabi saw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang rumahnya.
Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamku pun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[37]
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak terlibat di dalamnya.
Pemerintahan Umar
Masa kekuasaan Abu Bakar tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun berkuasa, ia mengalami sakit parah. Pada saat-saat menjelang kematian-nya, ia menyerahkan kekhalifahan kepada sahabatnya, Umar. Keputusan ini mendapat kritikan dan kecaman keras dari para sahabat besar. Tetapi ia tidak bergeming. Ia tetap menjalankan tekadnya itu[38]melalui sebuah surat wasiat. Wasiat ini ditulis oleh ‘Utsmân bin ‘Affân. Dia juga yang mengumumkan di hadapan khalayak ramai dan mengajak mereka untuk membaiat Umar.
Ala kulli hal, Umar telah menerima jabatan kekhalifahan dengan mudah tanpa jerih payah. Dia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan mengatur urusan negara dengan kekerasan. Tindakannya menuai kritikan pedas dari para sahabat besar. Para sejarawan menulis, sebenar-nya perlakuan Umar (selama menjadi khalifah) itu lebih kejam dan keras daripada pedang Hajjâj bin Yusuf. Setiap orang yang beroposisi terha-dapnya, ia hadapi dengan kejam dan kasar. Umar telah menguasai negara sepenuhnya. Dia memiliki cara tersendiri dalam memerintah. Sepak ter-jang Umar dalam politik, dalam maupun luar negeri, dan ekonomi telah kami paparkan secara rinci dalam buku kami, Mawsû‘ah Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2.
Umar Dibunuh
Umar memiliki politik tersendiri untuk imperium Persia. Dia begitu dengki terhadap imperium ini, sebagaimana juga bangsa Persia mem-bencinya. Abu Lu’luah adalah seseorang berkebangsaan Persia yang sangat membenci Umar. Tetapi dia menyembunyikan isi hatinya itu. Pada suatu hari, ia pernah lewat di hadapan Umar. Umar berkata kepadanya sembari mengejek: “Aku dengar engkau mampu membuat gilingan te-pung yang digerakkan dengan tenaga angin?”
Abu Lu’luah merasa tersengat oleh ucapan Umar yang bernada ejekan itu. Ia emosi seraya berkata: “Aku akan membuat gilingan tepung yang dapat berbicara dengan manusia.”
Pada hari kedua, Abu Lu’luah berhasil membunuh Umar.[39] Dia menikamnya dengan tiga kali tikaman. Salah satu tikaman itu mengenai bagian bawah perutnya sampai terkoyak. Setelah itu, Abu Lu’luah menyerang orang-orang yang berada di dalam masjid. Ia berhasil meni-kam sebanyak sebelas orang. Kemudian ia melakukan bunuh diri. Umar segera dibawa ke rumahnya, sementara lukanya telah mengeluarkan darah banyak. Ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya: “Siapa-kah yang menikamku?”
“Budak Mughîrah”, jawab mereka singkat.
Umar menimpali: “Bukankah telah kuingatkan kalian, ‘Jangan bawa aku ke hadapan orang dungu sehingga kalian melengah-kanku?’”[40]
Kemudian keluarga Umar memanggil seorang tabib. Tabib bertanya kepada Umar: “Minuman apa yang paling kamu sukai?
“Nabîdz (anggur)”, jawab Umar pendek.
Umar diberi minum anggur. Cairan anggur itu keluar dari salah satu tikamannya. Orang-orang yang hadir berkata: “Telah keluar nanah.” Lalu ia diberi minum susu. Keluar lagi nanah dari salah satu tikaman yang lain. Tabib pun merasa putus asa. Tabib berkata: “Aku menduga engkau tidak dapat bertahan hidup sampai sore hari.”[41]
Konsep Syûrâ
Cedera Umar bin Khaththab semakin parah. Ia lama berpikir kepada siapakah kekhalifahan ini harus diserahkan. Ia teringat kepada para pendukungnya yang pernah membantunya mengeluarkan kekhalifahan dari keluarga Nabi saw. Ia naik ke atas mimbar dan menampakkan ke-sedihan kepada masyarakat. Ia berkata: “Sekiranya Abu ‘Ubaidah masih hidup, pasti aku berikan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia orang jujur di antara umat ini. Sekiranya Sâlim budak Abi Hudzaifah masih hidup, pasti kuserahkan kekhalifahan ini kepadanya, karena ia sangat mencintai Allah swt.”
Padahal, jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam, kita tidak akan menemukan sedikitpun peran Abu ‘Ubaidah di medan jihad atau khidmatnya kepada dunia Islam. Sâlim budak Abi Hudzaifah adalah rakyat biasa yang tak dikenal. Ia hanya memiliki peran ketika menyerang rumah Imam Ali as. Peristiwa tersebut harus dikaji secara seksama dan tanpa unsur semangat golongan dan fanatisme suku sehingga Muslimin dapat mengetahuinya secara obyektif.
Ala kulli hal, Umar telah menetapkan Syûrâ; sebuah konsep yang sangat goyah dan lemah. Tujuan Umar adalah menyingkirkan Imam Ali as. dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada ‘Utsmân bin Affân, pemuka Bani Umayah. Sikap ini menyenangkan hati orang-orang Quraisy yang memiliki kedengkian dan kebencian yang besar kepada Imam Ali as.
Akhirnya, ‘Utsmân bin ‘Affân memperoleh jabatan kepemimpinan umat Islam sesuai dengan ketetapan Syûrâ; konsep yang telah menimpa-kan musibah dan berbagai fitnah ke atas Muslimin dan menjerumuskan mereka ke lembah kehancuran. Kami telah menjelaskan konsep Syûrâ yang telah ditetapkan oleh Umar ini dalam buku kami, Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as. Pada kesempatan ini, kami hanya menyinggung masalah ini secara sekilas.
Pemerintahan ‘Utsmân
Mayoritas kaum muslimin menerima kekhalifahan ‘Utsmân dengan penuh kerisauan dan keraguan. Mereka menilai bahwa naiknya ‘Utsmân ke tahta kekuasaan adalah kemenangan bagi keluarganya yang tidak pernah ikut andil dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam. Dawzî melihat bahwa kemenangan keluarga Umayyah sebenarnya adalah kemenangan sekelompok orang yang menyimpan permusuhan terhadap Islam.[42]
Kenyataannya, ‘Utsmân mengangkat Bani Umayyah sebagai aparat negara. Mereka menguasai perekonomian rakyat demi kepentingan sendiri dan membangun kembali keluarga mereka yang telah dihancurkan oleh Islam. Mereka telah membelenggu kepribadian ‘Utsmân yang lemah dan memanfaatkan kecintaannya kepada mereka. Dengan cara ini, mere-ka mengeruk harta negara, sebagaimana unta melahap tumbuh-tumbuhan di musim bunga. Menurut perspektif Imam Ali as: “Dengan itu, mereka menyebarkan kefakiran dan kesengsaraan di tengah-tengah masyarakat Islam. Hal itu menyebabkan kemarahan umat tersebar dan negara hancur luluh.”
Faktor penting lain yang membuat pemerintahan ‘Utsmân runtuh adalah ia memberikan wewenang kepada Bani Umayyah dan Abi Mu‘îth atas daerah-daerah kekuasaan Islam, padahal mereka tidak memiliki kelayakan dan kepandaian sama sekali dalam mengatur negara. Sebagian dari mereka malah diangkat untuk menangani masalah-masalah besar negara. Misalnya Walîd bin ‘Uqbah diangkat menjadi gubernur Kufah. Ia menghabiskan kekayaan negara untuk bermabuk-mabukan setiap malam bersama para wanita penyanyi hingga pagi hari. Ia pernah mengerjakan salat Subuh sebagai imam sambil mabuk sebanyak empat rakaat. Ketika rukuk dan sujud, ia berkata: “Aku ingin menenggak arak. Berikanlah!” Kemudian ia memuntahkan arak di mihrab salat dan mengucapkan salam. Setelah itu ia menoleh ke arah orang-orang yang salat di belakang-nya seraya berkata: “Apakah aku perbanyak rakaat salat ini untuk kalian?” Ibn Mas‘ûd menjawab: “Semoga Allah tidak menambahkan kebaikan kepadamu dan juga kepada orang yang mengutusmu.” Ibn Mas‘ûd meng-ambil sandal dan memukul wajah Walîd dengan pangkalnya. Kemudian orang-orang berkumpul. Walîd memasuki istana sambil mabuk yang diikuti oleh jamaah.[43] Walîd betul-betul bejad dan telah keluar dari agama.
Para wakil kota Kufah segera pergi ke Yatsrib (Madinah) untuk mengadukan kelakuan Walîd kepada ‘Utsmân. Mereka membawa cincin yang mereka copot ketika Walid sedang mabuk untuk diperlihatkan kepada ‘Utsmân. Sesampainya di sana, mereka mengadukan perbuatan Walîd yang suka minum arak. Tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Bahkan ‘Utsmân menghadapi mereka dengan ketus dan kejam seraya berkata: “Dari mana kalian tahu bahwa yang dia minum itu adalah arak?”
“Yang ia minum itu adalah arak yang biasa kita minum pada masa Jahiliyah”, tukas mereka pendek.
‘Utsmân naik pitam. Dia mendorong mereka sambil mengeluarkan kata-kata yang pedas. Akhirnya mereka keluar meniggalkan ‘Utsmân setelah menerima murkanya. Mereka segera menjumpai Imam Ali as. dan menceritakan pengalaman yang terjadi antara mereka dengan ‘Utsmân. Imam Ali as. segera bangkit menuju ‘Utsmân dan berkata kepadanya: “Engkau telah menolak para saksi dan membatalkan sanksi.”
‘Utsmân merasa takut akan resiko yang akan terjadi. Ia berkata kepada Imam Ali as.: “Lalu, apa pendapatmu?”
Imam Ali as. menjawab: “Pendapatku adalah utuslah seseorang menemui sahabatmu itu. Jika ada dua orang yang siap bersaksi atas perbuatannya itu dan ia tidak memiliki dalih, maka perlakukanlah sanksi atasnya.”
‘Utsmân menerima pendapat Imam Ali as. Ia segera mengutus sese-orang menjumpai Walîd. Ketika utusan itu tiba di hadapannya, dia memanggil para saksi. Para saksi bersaksi atas perbuatan Walîd itu. Walîd diam dan tidak mampu beralasan untuk membela diri. Dia pun pasrah untuk menerima sanksi. Tetapi ia menolak hadir untuk dicambuk karena takut kepada ‘Utsmân. Akhirnya Imam Ali as. melakukan sanksi atasnya. Walîd mencerca Imam Ali as. seraya berkata: “Hai si zalim.” ‘Aqîl bang-kit dan menjawab cercaannya itu. Mulailah Imam Ali as. mengangkat cambuk tinggi-tinggi dan memukulnya. ‘Utsmân nampak murka dan tidak tega melihat itu. Ia berteriak kepada Imam Ali as.: “Tidak seha-rusnya engkau berbuat begitu!” Imam Ali as. menjawab sesuai dengan hukum syariat yang menegaskan: “Bahkan lebih keras dari ini bila dia telah berbuat fasik dan melarang hak Allah dituntut darinya.”
Sikap ‘Utsmân seperti itu menunjukkan betapa ia meremehkan pelaksanaan hukum Allah, dan betapa ia menaruh kasihan terhadap keluarganya yang congkak dan dimurkai Allah.
Kelompok Penentang ‘Utsmân
Kaum muslimin pilihan dan saleh sangat murka terhadap ‘Utsmân dan para gubernurnya. Mereka mengecam dan melontarkan kritikan-kritikan yang pedas terhadapnya.
Perlu disebutkan di sini bahwa para penentang ‘Utsmân memiliki haluan pemikiran yang berbeda-beda. Mereka terbagi dalam kelompok kanan dan kelompok kiri. Thalhah, Zubair, ‘Aisyah, dan ‘Amr bin ‘Ash berdiri di kelompok yang berambisi ingin mencapai kepentingan pribadi yang sangat sempit. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari para pem-besar Islam seperti ‘Ammâr bin Yâsir (anak keturunan orang-orang yang baik), Abu Dzar Al-Ghifârî sang mujahid agung, Abdullah bin Mas‘ûd sang qârî, dan sahabat-sahabat lainnya yang telah mendapatkan ujian di jalan dan berhasil lulus dengan rapor yang memuaskan. Mereka melihat sunah Nabi saw.telah dibunuh dan bid’ah dihidupkan kembali, kebenaran telah didustakan dan pengutamaan telah dilimpahkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Mereka berdiri di hadapan ‘Utsmân untuk menentang politiknya dan menuntut agar ia mengubah perilakunya dan menjauhkan keluarga Umayyah dari kekuasaan. Mereka tidak mempunyai kepentingan apa pun dalam penentangan tersebut selain berkhidmat kepada Islam. Tetapi ‘Utsmân tidak mengindahkan keinginan mereka.
Penyerbuan terhadap ‘Utsmân
Setelah berbagai cara yang diusulkan kepada ‘Utsmân untuk melakukan perbaikan dalam tubuh pemerintahan tidak berhasil, api pemberontakan berkobar terhadapnya. Para pemberontak mengepung rumahnya. Mereka menuntut agar dia mengundurkan diri. Tetapi dia menolak. Mereka me-nuntut agar dia menghukum Marwân dan Bani Umayyah. Tapi ‘Utsmân pun tetap acuh tak acuh. Bani Umayyah telah meninggalkan ‘Utsmân sendirian. Sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar melakukan penyerbuan terhadap ‘Utsmân. Ia menjambak jenggot ‘Utsmân seraya berkata kepadanya: “Allah telah menghinakanmu, hai Na‘tsal.”
‘Utsmân menjawab: “Aku bukan Na‘tsal. Tetapi aku adalah hamba Allah dan Amirul Mukminin.”
Muhammad bin Abu Bakar menimpali: "Mu‘âwiyah tidak lagi mem-butuhkanmu.” Muhammad pun menyebutkan beberapa orang dari Bani Umayyah yang turut mengepung rumahnya.
‘Utsmân merengek kepadanya seraya berkata: “Hai putra saudaraku, lepaskan jenggotku. Ayahmu tidak pernah melakukan seperti ini.”
Muhammad menjawab: “Aku tidak menginginkan darimu lebih keras dari pegangan tanganku terhadap jenggotmu ini.”
Setelah berkata begitu, Muhammad menikamnya dengan belati yang digenggamnya. Tak ayal lagi, ‘Utsmân menjadi sasaran para pemberontak dan tubuh tak bernyawa itu dicampakkan ke tanah. Tak seorang pun dari Bani Umayyah dan keluarga Abi Mu‘îth yang berani menolongnya. Para pemberontak telah bertindak keterlaluan dalam menghinakannya. Mereka mencampakkan tubuh ‘Utsmân itu di tempat yang terhina dan tidak mengizinkan untuk dikuburkan. Hal ini berlanjut hingga Imam Ali as. menyuruh agar ‘Utsmân dikuburkan. Mereka pun mengizinkan untuk di-kuburkan.
Kehidupan ‘Utsmân telah berakhir dengan cara yang sangat menge-naskan. Dengan pembunuhan atasnya, Muslimin telah memperoleh ujian yang sangat berat. Berbagai musibah dan fitnah telah mengintai dan akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang keburukan yang sangat besar. Karena Bani Umayyah merasa beruntung dengan terbunuhnya ‘Utsmân. Mereka memperoleh peluang untuk menuntut darahnya, sebagaimana kekuatan oposisi seperti Thalhah, Zubair, dan ‘Aisyah juga memperoleh kesempatan untuk menuntut darahnya. Mereka menjadikan pertikaian ini sebagai kartu kemenangan bagi diri mereka, padahal mereka sendirilah yang telah ikut bersekongkol untuk mengepung rumah ‘Utsmân.
Kekhalifahan Imam Ali as.
Imam Ali as. merasa sangat gelisah menghadapi peristiwa pembunuhan ‘Utsmân. Hal itu lantaran ia tahu tentang peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Bani Umayyah dan orang-orang yang rakus kekuasaan pasti akan menuntut darah ‘Utsmân sebagai alasan atas penolakan dan pembang-kangan mereka, bila Imam Ali as. bersedia memegang tampuk kekuasaan.
Ada hal lain yang membuat Imam Ali as. tidak tenang dan gelisah. Yaitu ia adalah satu-satunya figur yang dicalonkan sebagai pemimpin umat. Tentunya ketika ia menduduki jabatan kekhalifahan, ia akan menjalankan politik atas umat Islam berdasarkan hak, kebenaran, dan keadilan yang murni, dan menjauhkan para koruptor dan orang-orang yang tamak dunia dari kursi kekuasaan. Sudah pasti, kelompok oposisi akan menjadi penghalang bagi strategi politiknya dan akan melakukan perlawanan bersenjata.
Pada mulanya, Imam Ali as. menolak untuk menjadi khalifah. Tetapi mayoritas muslimin memaksanya. Mereka menuntut agar ia memimpin umat Islam. Imam Ali as. menjawab: “Aku tidak memerlukan kekuasaan. Siapa saja yang kalian pilih, aku akan merestuinya.”[44]
Mereka tidak mau mengerti ucapan Imam Ali as. dan tetap memi-lihnya sebagai khalifah. Mereka berkata: “Kami tidak memiliki pemimpin selain dirimu.”
Mereka memohon lagi untuk kedua kalinya: “Kami tidak akan me-milih selain dirimu.”
Imam Ali as. tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menerima per-mohonan mereka. Karena ia tahu bencana yang akan menghadang. Di lain pihak, sekelompok pasukan bersenjata telah mengadakan sebuah pertemuan setelah mereka tahu bahwa Imam Ali as. tetap pada pen-diriannya; tidak mau menerima kekhalifahan. Mereka sepakat untuk menghadirkan para tokoh Madinah dan orang-orang yang memiliki pengaruh, dan mengancam akan membunuh Imam Ali as., Zubair dan Thalhah bila mereka tidak berhasil mengangkat seorang pemimpin untuk kaum Muslimin.[45]
Para pemuka Madinah segera mendatangi Imam Ali as. Dengan penuh cemas mereka memohon kepadanya: “Terimalah baiat kami! Terimalah baiat kami! Apakah Anda tidak melihat apa yang akan terjadi atas Islam dan ancaman para penduduk terhadap kami?”
Imam Ali as. tetap menolak seraya berkata: “Biarkanlah aku dan carilah orang selainku.” Imam berusaha memberikan pengertian kepada mereka atas berbagai bencana yang akan ia hadapi. Ia berkata: “Wahai hadirin, kita akan menghadapi problema yang beraneka agam sehingga hati ini tidak akan tentram dan akal pikiran tidak akan tegak.”
Mereka tetap tidak memahami ucapan Imam Ali as. Malah mereka memohon dengan menggunakan gelarnya. Mereka berkata: “Amirul Mukminin adalah Anda! Amirul Mukminin adalah Anda!”
Akhirnya, Imam Ali as. menjelaskan kepada mereka sistem peme-rintahan yang akan ia jalankan. Ia menegaskan: “Ketahuilah, jika aku menerima permohonan kalian, aku akan memperlakukan kalian sesuai dengan ilmuku. Aku tidak akan menggubris ucapan siapa pun dan tidak menerima kecaman siapa pun. Jika kalian meninggalkanku, aku sama dengan kalian. Barangkali aku akan mendengarkan kalian dan menaati orang yang kalian serahi urusan ini. Aku sebagai pembantu kalian lebih baik bagi kalian daripada aku sebagai pemimpin kalian.”
Imam Ali as. telah menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Yaitu hak, kebenaran, dan keadilan. Mereka me-nerima seluruh penjelasan yang telah diberikan oleh Imam Ali as. Mereka berkata: “Kami tidak akan meninggalkanmu sampai kami membaiatmu.”
Mereka mengerumuni Imam Ali as. dari seluruh arah dan menuntut agar ia menerima kekhalifahan. Ketika menjelaskan pemandangan yang ada pada saat pembaiatan itu, Imam Ali as. berkata: “Dengan serentak, mereka berdesak-desakan bagai rambut tebal anjing hutan yang ada di lehernya. Mereka mengerumuniku dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak-injak dan bajuku sobek. Mereka berkumpul di sekeliling-ku bagaikan kerumunan domba.”
Imam Ali as. Menerima Kekhalifahan
Tidak ada alasan lagi bagi Imam Ali as. untuk tidak menerima kekha-lifahan. Ia terpaksa menerima kedudukan ini. Hal itu karena ia khawatir kepemimpinan umat Islam akan dipegang oleh Bani Umayyah yang fasik. Ia berkata: “Demi Allah, aku tidak menerima kekhalifahan ini, melainkan karena aku takut umat Islam ini akan dipermainkan oleh seorang durjana dari Bani Umayyah yang akan mempermainkan kitab Allah swt.”[46]
Muslimin berduyun-duyun menuju masjid. Imam Ali as. maju ke depan diiringi gemuruh takbir dan tahlil. Thalhah maju ke depan dan membaiat Imam Ali as. dengan tangannya yang lumpuh, tangan yang akan begitu cepat melanggar janji Allah itu. Imam Ali as. sendiri telah membaca sikapnya itu. Ia berkata: “Betapa cepatnya ia akan melanggar baiatnya.”
Setelah itu, kaum muslimin beramai-ramai membaiat Imam Ali as. Itu berarti mereka telah membaiat Allah dan Rasul-nya. Pembaiatan umum terhadap Imam Ali as. telah tuntas; sebuah pembaiatan yang tidak pernah terjadi pada masa khalifah-khalifah selainnya. Kaum Muslimin merasa senang dan bahagia dengan itu. Imam Ali as. berkata: “Begitu gembiranya kaum Muslimin dengan pembaiatanku, sehingga anak kecil pun merasa gembira. Orang-orang tua tertatih-tatih datang membaiat, orang-orang yang sakit turut membaiat sambil menahan nyeri, dan kaki mereka pun lemah lunglai karena ingin membaiat.”
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan dan kebenaran di dunia Islam telah berkibar. Islam telah kembali kepada masa kegemilangan dan kejayaannya.
Keputusan yang Tegas
Setelah menduduki kursi kekhalifahan, Imam Ali as. langsung menge-luarkan beberapa kebijakan penting sebagai berikut:
· Mengambil alih tanah-tanah yang pernah diberikan ‘Utsmân kepada Bani Umayyah.
· Menarik kekayaan negara yang pernah diberikan ‘Utsmân kepada Bani Umayyah dan Bani Abi Mu‘îth.
· Menarik kekayaan ‘Utsmân, termasuk pedang dan perisainya.
· Memecat seluruh gubernur, karena mereka telah berbuat kezaliman dan korupsi secara terang-terangan.
· Menyamakan hak antara orang muslim dan nonmuslim yang tinggal di negara Islam tapi tidak memeluk agama Islam. Persamaan hak ini mencakup:
o Persamaan dalam pemberian tunjangan.
o Persamaan di hadapan undang-undang.
o Persamaan dalam hak dan kewajiban.
Orang-orang Quraisy sangat kecewa dan jengkel dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Mereka khawatir akan kekayaan yang selama ini telah mereka tuai dari praktek korupsi. Karena itu, mereka melakukan penen-tangan dan berusaha menghalangi setiap strategi politik Imam Ali as. yang bertujuan menegakkan keadilan sosial dan politik dalam masyarakat Islam.
Akhirnya, berbagai kekuatan oposisi berusaha menyulut api pepe-rangan melawan Imam Ali as. untuk menjatuhkan pemerintahannya. Secara ringkas, berikut ini kami akan menjelaskan beberapa peperangan yang berhasil disulut oleh mereka untuk menentang pemimpin keadilan Islam dan sahabat kaum tertindas ini.
1. Perang Jamal
Perang ini pecah akibat ketamakan politik dan kekuasaan. Mu‘âwiyah telah menipu Zubair dan Thalhah dengan mengiming-imingi kekhalifa-han dan pembaiatan kepada mereka apabila kekuasaan Imam Ali as. berhasil diruntuhkan. Adapun ‘Aisyah, hatinya telah dikuasai kedengkian dan kebencian terhadap Imam Ali as. Akhirnya, terbentuklah sebuah poros oposisi penentang Imam Ali as. yang dikepalai oleh ketiga orang tersebut di kota Mekah. Orang-orang yang punya sifat tamak, congkak, dan pikiran dangkal turut mendukung poros ini. ‘Aisyah segera mengga-lang pasukan, sementara Bani Umayyah melengkapi mereka dengan senjata dan peralatan perang. Mereka telah mengeluarkan biaya besar dari praktek korupsi mereka atas Baitul Mâl Muslimin pada saat mereka menjadi gubernur di jaman kekhilafahan ‘Utsmân.
Pasukan yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair itu ber-gerak menuju ke Bashrah. Mereka berhasil menguasai kota Bashrah setelah melakukan pertempuran sengit dengan pasukan kota. Mengetahui serangan para pembangkang ini, Imam Ali as. keluar dengan bala tentaranya untuk menumpas mereka. Kedua pasukan tersebut bertempur dengan sengit. Dalam perang Jamal ini, Thalhah dan Zubair terbunuh. Segera komando perang diambil alih oleh ‘Aisyah. Unta yang ditung-ganginya dikelilingi oleh bala tentara yang tak terhitung. Mereka dapat menebas tangan-tangan dan menghabiskan nyawa-nyawa yang ada di sekelilingnya. Namun akhirnya unta ‘Aisyah tersungkur jatuh ke atas tanah dan pasukannya kalah.
Misi peperangan ini pun mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Perang ini telah mengakibatkan kerugian yang memalukan di bari-san Muslimin dan menebarkan perpecahan serta permusuhan di antara mereka. Sementara itu, rumah-rumah penduduk Bashrah masih disesaki duka, kesedihan, dan nestapa.
2. Perang Shiffin
Belum sempat istirahat untuk menghilangkan kepenatan akibat perang Jamal, Imam Ali as. telah mendapat ujian berat dari musuh pemakar yang tidak pernah memiliki satu pun nilai-nilai insani. Dia menggunakan taktik kemunafikan, tipu daya, dan khianat. Dia mahir dan terbiasa dengan karakrer buruk ini. itulah Mu‘âwiyah bin Abu Sufyan yang dijuluki oleh para pendukungnya dengan sebutan ‘Kisra Arab’. Mereka menyerahkan kekuasaan Syam kepadanya tanpa peduli pada lembaran-lembarannya yang hitam. Mereka juga tidak mau tahu kalau dia berasal dari pohon terkutuk seperti ditegaskan oleh Al-Qur’an. Apakah mereka tidak pernah mendengar tentang berbagai peperangan kejam yang telah disulut oleh Abu Sufyân dan Bani Umayyah untuk menentang Nabi saw., padahal realita itu belum terlalu lama berlalu? Kemaslahatan apa yang diperoleh kaum Muslimin dengan mengangkat serigala bodoh itu sebagai penguasa Syam yang merupakan daerah terpenting negeri Islam? Mengapa mereka tidak menyerahkan kedudukan yang berharga itu kepada putra-putra Nabi saw. atau kepada orang-orang pilihan dan terdidik dari putra-putra suku Aus dan Khazraj yang telah rela berjuang dengan baik untuk mene-gakkan Islam?
Ringkasnya, Mu‘âwiyah telah mengerahkan pasukannya menuju Shiffin untuk memerangi saudara dan pintu kota ilmu Nabi saw. Pasukan Mu‘âwiyah berhasil menguasai sungai Furat dan mencegah pasukan Imam Ali as. dari mengambil air minum. Pasukan Mu‘âwiyah mengang-gap hal ini sebagai sebuah awal kemenangan.
Imam Ali as. mengerahkan pasukannya untuk menumpas musuh penipu yang telah mencabut ketaatan dan menyulut fitnah itu. Pasukan Imam Ali as. percaya dan yakin betul bahwa mereka sedang memerangi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.
Pasukan Imam Ali as. tiba di Shiffin. Mereka melihat sungai Furat telah dikelilingi dan dikuasai oleh pasukan Mu‘âwiyah. Pasukan Islam tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh air minum. Sementara pasu-kan Mu‘âwiyah tetap menghalangi mereka untuk mengambil air minum. Seorang komandan pasukan Imam Ali bertekad untuk menyerang dan memporak-porandakan barisan pasukan Mu‘âwiyah. Sekelompok pasu-kan Imam Ali menyerang pasukan Mu‘âwiyah dengan ksatria. Pasukan Imam Ali berhasil mengusir mereka dari sungai Furat dan menimpakan kerugian yang memalukan kepada mereka. Sebagian pasukan Imam Ali meminta supaya Imam Ali as. memperlakukan pasukan Mu‘âwiyah seperti itu pula. Imam Ali as. menolak permohonan itu, karena syariat Islam tidak membenarkan tindakan semacam itu. Sesungguhnya air itu diperbolehkan sebagai minuman sekalipun untuk anjing dan babi.
Imam Ali as. mengutus beberapa orang kepada Mu‘âwiyah untuk melakukan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah. Tetapi Mu‘âwiyah menolak usulan itu. Dia tetap membangkang dan menentang. Api peperangan pun berkobar antara kedua pasukan dan berlangsung hingga dua tahun lamanya. Pertempuran yang paling dahsyat terjadi adalah pertempuran yang terjadi pada malam Al-Harîr. Pertempuran ini telah menelan korban sebanyak 70.000 prajurit dari kedua belah pihak. Dalam peperangan ini pasukan Mu‘âwiyah mengalami kekalahan telak. Pasukannya porak poranda dan ia hendak melarikan diri. Tetapi ia meng-urungkan niatnya itu setelah ingat syair Ibn Ithnâbah.
Mempermainkan Mushaf
Pasukan Imam Ali as. melakukan penyerangan di bawah komando Malik Al-Asytar. Ia hampir saja meraih kemenangan. Jarak antara mereka de-ngan kemenangan atas Mu‘âwiyah hanyalah seukuran tangan memerah susu kambing. Tetapi ‘Amr bin ‘Ash, sang penipu ulung, telah mengatur siasat untuk mengkacaukan pasukan Imam Ali as. dan menggulingkan kepemimpinannya. Ibn ‘Ash telah menjalin hubungan dengan Asy‘ats bin Qais dan beberapa komandan pasukan Imam Ali as. secara rahasia. Dia telah berhasil menipu, mengiming-imingi dan menyogok mereka. Mereka sepakat untuk mengangkat mushaf Al-Qur’an dan mengajak Muslimin untuk tunduk kepada hukum Al-Qur’an berkenaan dengan perkara yang sedang mereka perselisihkan itu.
Pengangkatan mushaf yang dimulai dari seruan pasukan Mu‘âwiyah untuk bertahkim kepada Al-Qur’an terdengar begiru nyaring. Tipu daya ini laksana halilintar bagi pasukan Imam Ali as. Sebanyak lebih dari dua puluh ribu prajurit yang berteriak mengajak untuk bertahkim kepada Al-Qur’an. Imam Ali as. memperingatkan dan menasihati mereka bahwa semua itu hanyalah tipu daya belaka. Mu‘âwiyah melakukan siasat ini karena pasukannya telah lemah dan tidak dapat berdiri tegak lagi. Tetapi pasukan Imam Ali as. tidak mau mengerti. Bahkan mereka mengancam bila Imam Ali as. tidak mengabulkan permohonan mereka itu. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengabulkan permintaan mereka. Pada saat-saat yang genting dan mengkhawatirkan itulah kekhalifahan Imam Ali as. berakhir dan tenggelam cahayanya.
Penentuan Abu Mûsâ Al-Asy‘arî
Setelah peristiwa itu, berbagai peristiwa besar secara beruntun menimpa Imam Ali as. Di antaranya, penentuan Abu Mûsâ Al-Asy‘arî sebagai wakil pasukan Irak (untuk menghadiri proses tahkim). Imam Ali as. menolak penentuan tersebut. Tetapi mereka memaksa Imam Ali as. untuk mengu-tusnya sebagai wakil mereka. Adapun pasukan Syam memilih ‘Amr bin ‘Ash sebagai wakil mereka. ‘Amr berhasil menipu Al-Asy‘arî. Sebelum-nya, ‘Amr dan Al-Asy‘arî telah sepakat untuk mencopot kekhalifahan Imam Ali as. dan Mu‘âwiyah, dan memilih Abdullah bin Umar sebagai pemimpin kaum Muslimin. Al-Asy‘arî merasa gembira dengan kesepaka-tan ini. Ketika tiba waktu bertahkim, Al-Asy‘arî mencopot kekhalifahan Imam Ali as., tetapi ‘Amr bin ‘Ash menetapkan kekhalifahan Mu‘âwiyah.
3. Perang Nahrawan
Setelah peristiwa tahkim itu, fitnah terjadi di dalam pasukan Imam Ali as. Sekelompok orang melakukan pembangkangan. Mereka menyatakan diri akan mengangkat senjata dan menilai bahwa Imam as. telah kafir, karena ia mau menerima seruan bertahkim. Padahal justru mereka sendiri yang memaksa Imam Ali as. untuk menerima tahkim. Slogan yang mereka teriakkan adalah lâ hukma illa lillâh (tiada hukum selain hukum Allah). Tetapi, begitu cepatnya slogan ini berubah menjadi alat pertumpahan darah dan angkat senjata. Imam Ali as. menghujat dan menyadarkan mereka atas kekeliruan mereka itu. Sekelompok dari mereka menerima pandangannya. Tetapi sekelompok yang lain tetap bersikeras dalam ke-sesatan dan kebodohan mereka lalu menebarkan kerusakan. Mereka banyak membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat Islam. Akhirnya, Imam Ali as. terpaksa mengadakan perlawanan terhadap mereka. Meletuslah perang Nahrawan. Dalam peperangan ini, sebagian besar mereka telah tewas.
Perang ini tidak berakhir sampai di situ. Muncul lagi pembang-kangan yang lebih buruk di dalam tubuh pasukan Imam Ali as. Mereka mengajak untuk memerangi Mu‘âwiyah. Tetapi tidak seorang pun yang mengikuti ajakan mereka itu.
Kekuatan Mu‘âwiyah mulai bermain di panggung politik sebagai kekuatan besar. Mulailah mereka menguasai daerah-daerah Islam dan memerangi daerah-daerah yang taat kepada kepemimpinan Imam Ali as. Itu mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa Imam Ali as. sudah tidak mampu melindungi mereka. Akhirnya, sinar kewibawaan Imam Ali as. mulai pudar dan bencana pun datang silih berganti. Imam Ali melihat kebejatan Mu‘âwiyah semakin kokoh dan harapan dan angan-angannya pun telah sempurna, sedangkan ia tidak memiliki satu kekuatan pun yang mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.
Syahadah Imam Ali as.
Imam Ali as. mulai berdoa, bersimpuh, dan bermunajat kepada Allah swt. agar Dia segera menyelamatkan dirinya dari masyarakat yang sesat itu dan memindahkannya ke alam baka. Di sana ia akan mengadukan kepada putra pamannya segala bencana dan musibah yang telah menim-panya. Allah swt. mengabulkan doanya itu. Seorang durjana dan pendur-haka yang bernama Abdurrahman bin Muljam telah menebas kepala Imam Ali as., seperti pembunuh unta Nabi Saleh. Pada waktu itu, Imam Ali as. sedang berdiri di hadapan Allah swt. di mihrabnya mengerjakan salat di sebuah rumah Allah. Si durjana itu menghunus dan menebaskan pedangnya. Ketika merasakan pedihnya tebasan pedang itu, ia berteriak: “Demi Tuhan Ka‘bah, sungguh aku telah menang!”
Penghulu orang-orang yang bertakwa telah menang. Hidupnya telah berakhir dengan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat haq.
Salam sejahtera Allah atasnya pada hari ia dilahirkan di dalam Ka‘bah dan pada hari ia meneguk cawan syahadah di dalam rumah Allah.
Dengan syahadah Ali bin Abi Thalib, bendera hak, kebenaran, dan keadilan turun terlipat, sinar hidayah dan cahaya petunjuk yang selama ini telah menyinari dunia Islam telah padam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar